Definition List

Rabu, 25 Desember 2013

Paradigma Negeri Ku


(Oleh : Satria Ali, salah satu Titisan Prajurit Potenggelang Panaragan-Tulang Bawang-Lampung)



Sejak reformasi bergulir hingga menjelang pesta demokrasi akhir-akhir ini, dimana keadaan sosial politik telah banyak mengalami perubahan dan perlunya diadakan evaluasi yang sangat mendasar dalam segala dimensi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Reformasi telah membawa dampak yang sangat signifikan terhadap kemajuan dan kemunduran peradaban bangsa Indonesia. Adapun kemajuan peradaban bangsa yang dihasilkan sejak reformasi, terkesan lebih sedikit dibandingkan fase kemunduran dalam peradaban. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari adanya amandemen UUD 1945 yang terkesan lebih liberal dan jauh dari nilai-nilai luhur yang tersirat dalam Pancasila, sebab dalam amandemen UUD 1945 terdapat 10 (sepuluh) Pasal yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yang berindikasi pada libralisme kehidupan bangsa, sebab tidak senafas lagi dengan sila kedua Pancasila yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”.



Semangat keBhinekaan demi menjaga keutuhan bangsa dari Sabang hingga ke Maroke yang didengungkan oleh para pendiri bangsa sejak gerakan nasional ke-Indonesia-an 1908 (Budi Utomo), 1928 (Sumpah Pemuda) hingga tercapainya era 1945 (Proklamasi Kemerdekaan) dengan tenggang waktu perjuangan lebih kurang selama 37 tahun, tetapi spirit perjuangan itu telah diberedel habis oleh kepentingan elite kapital yang berfaham neolib, melalui amandemen UUD 1945. Salah satu contoh pembredelan dalam bidang ketatanegaraan yang sangat mendasar dan jauh menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yaitu lepasnya kewenangan Majelis Permusyawaratan Rayat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara yang bertugas menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), sebagai acuan Pemerintah (Ekskutif dan Legeslatif) dalam melaksanakan serta merancang pembangunan bangsa dan negara. Sebelum amandemen UUD 1945, MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang keberadaanya sebagai implementasi riil dari sila keempat Pancasila yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam PERMUSYAWATARAN perwakilan”.


Seharusnya Pancasila sebagai payung hukum negara dijalankan secara utuh dan menyeluruh oleh segenap lapisan masyarakat, bangsa Indonesia. Hal mana secara filosofis, Pancasila menginginkan manusia Indonesia menjadi manusia yang untuh ber-keTuhanan yang Maha Esa, ber-kemanusiaan yang adil dan berdadab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, serta memiliki sikap demokratis atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun keadaan berputar-putar tanpa arah dan tujuan, sebab Pancasila hanya dijadikan simbol belaka yang secara umum menjadikan manusia Indonesia berTuhan tapi tidak berprikemanusaian yang adil dan beradab, namun lebih pada kemanusiaan yang tidak adil dan biadab. Keadaan seperti ini tentunya telah membawa kita pada ranah perpecahan keutuhan Indonesia, meskipun kebijakan publik dijalankan dengan berlandaskan pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, akan tetapi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu tidak akan perah terwujud. Bangsa Indonesia terlanjur berfikiran apatis, psimis dan tidak realistis, dengan jiwa-jiwa penuh dengan kebohongan, kedustaan, hipokrit dan selalu berpura-pura pintar meskipun tau akan kebodohannya.

Kebijakan-kebijakan ekonomi saat ini lebih ditujukan pada kaum kapitalis (investor) dengan dalih sebagai upaya peningkatan ekonomi ditengah krisis global, juga sebagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan dengan membuka lapangan kerja secara luas bagi seluruh rakyat Indonesia, hingga tercapai kemakmuran bangsa. Yang jadi pokok permasalahan secara mendasar tentang keberadaan investor asing (kapitalis) di Indonesia justru telah menimbulkan kerusakan lingkungan, akibat eksploitasi kekayaan alam Indonesia secara membabi-buta. Selanjutnya, meskipun para investor asing itu membuka lapangan kerja bagi rakyat Indonesia, tapi mengapa justru yang terjadi adalah negara ini menjadi eksportir besar pengiriman tenaga kerja keluar negeri? Artinya investor asing itu gagal menciptakan lapangan kerja bagi rakyat Indonesia.
Otonomi Daerah sebagai salah satu agenda reformasi, yang diharapkan mampu membawa bangsa Indonesia lebih terjamin kesejahteraanya, justru sebaliknya malah membawa dampak terjadinya kesenjangan sosial di daerah. Pemerintah daerah secara umum tidak serius menjalankan tugas dan fungsinya untuk menjadikan suatu daerah otonom lebih mandiri, adil dan sejahtera melalui pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia di daerahnya, malah yang terjadi adalah terbukanya peluang Kolusi, Korupsi dan Nepotisme di daerah.

Penanaman modal asing (investor asing) di daerah otonom, khususnya dibidang perkebunan, telah berdampak pada terjadinya sengketa lahan antara masyarakat dan kaum investor (pihak perusahaan), namun belum banyak usaha pemerintah untuk melindungi kepentingan masyarakatnya. Hal itu tentunya juga tidak terlepas dari unsur politis, sebab seorang kepala daerah yang terpilih sudah barang tentu memiliki hutang budi pada pihak perusahaan sebagai pemilik modal. Kepala daerah otonom lebih cendrung menjadi raja-raja kecil yang melindungi kaum feodal, sebab demokrasi dapat direkayasa menjadi akal-akalan kaum kapital untuk mengeksploitasi kekayaan alam di daerah. Keadaan ini tentunya sama seperti dimasa kolonialisme dan imperialisme pejajahan dahulu dan mungkin suatu saat nanti bangsa kita akan kembali makan oyek dan tiwul seperti pendahulunya dahulu di masa kolonial Belanda dan Jepang. Memang sungguh sulit menegakkan demokrasi yang murni pada masyarakat yang masih serba berkekurangan secara ekonomi.

Keadaan-keadaan yang telah diuraikan diatas tentunya disebabkan oleh sistem tata hukum yang tidak lagi sejalan dengan kehendak para pendiri bangsa. Seharusnya nafas-nafas Pancasila dijalankan secara murni dan konsisten oleh segenap lapisan masyarakat, bangsa Indonesia. Selain itu agenda reformasi tidak mesti harus mengubah semua sistem tata hukum negara yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa, sebab UUD 1945 murni produk elite politik para pendiri bangsa dan bukan merupakan produk suatu rezim yang berkuasa sebelum reformasi bergulir. Dalam hal ini, secara pribadi saya tidak menyalahkan adanya amandemen UUD 1945, tetapi yang saya sesali adalah ketidak hati-hatian para abdi negara dalam mengamandemen UUD 1945, meskipun berkali-kali dikatakan bahwa amandemen itu untuk kepentingan segenap lapisan bangsa Indonesia, tapi keadaan yang terjadi malah sebaliknya jauh panggang dari api.

Untuk itu di tahun-tahun politik menjelang pesta demokrasi ini, saya mengharapkan kiranya visi dan misi para simpatisan Partai Politik lebih menitik beratkan pada perubahan sistem tata hukum kenegaraan, sebagaimana contoh adanya dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang hidupnya kembali UUD 1945, sebagai implementasi kembali pada tujuan awal kemerdekaan Indonesia, serta tegaknya Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Tanpa adanya pemikiran untuk untuk menata ulang tata hukum negara, maka tujuan demokrasi untuk mensejahterakan rakyat hanya sekedar nyanyian tanpa makna, fakta dan realita.

Mengutip kata-kata seorang sosiolog pernah mengungkapkan bahwa “tidak ada hukum yang jatuh dari langit untuk menata suatu negeri, akan tetapi untuk menata suatu negeri diperlukan penataan hukum lebih dahulu”. Oleh karena itu, betapa pentingnya penataan hukum dalam dimensi kehidupan politik, sosial dan budaya, hal ini lebih ditujukan guna melindungi bangsa dan negara dari merosotnya peradaban akibat pergeseran nilai-nilai sosial budaya yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi pada era globalisasi. Para elite politik kedepan harus kembali meninjau ulang UUD 1945 hasil Amandemen dan merumuskan kembali cita-cita para pendiri bangsa dalam suatu konsep yang tentunya disesuaikan dengan perkembangan jaman, namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya bangsa sebagai kekayaan budaya nasional agar dapat bersahing setara dengan budaya Internasional, bukan malah sebaliknya, anak dalam pangkuan dibuang, sedangkan beruk dihutan disusui. Akibatnya masyarakat kita menjadi masyarakat yang konsumtif, terlebih saat ini generasi muda tidak lagi memiliki jiwa yang tangguh, malahan menjadi generasi yang lebay dan alay, sebab kemajuan teknologi tidak dibatasi melalui sistem yang terarah dan bertanggung jawab.

Red. HH



 

0 komentar:

Posting Komentar