(Oleh : Satria Ali, salah satu Titisan Prajurit Potenggelang Panaragan-Tulang Bawang-Lampung)
Sejak reformasi bergulir hingga menjelang pesta
demokrasi akhir-akhir ini, dimana keadaan sosial politik telah banyak mengalami
perubahan dan perlunya diadakan evaluasi yang sangat mendasar dalam segala dimensi
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Reformasi telah membawa dampak yang
sangat signifikan terhadap kemajuan dan kemunduran peradaban bangsa Indonesia.
Adapun kemajuan peradaban bangsa yang dihasilkan sejak reformasi, terkesan
lebih sedikit dibandingkan fase kemunduran dalam peradaban. Hal tersebut
tentunya tidak terlepas dari adanya amandemen UUD 1945 yang terkesan lebih
liberal dan jauh dari nilai-nilai luhur yang tersirat dalam Pancasila, sebab
dalam amandemen UUD 1945 terdapat 10 (sepuluh) Pasal yang mengatur tentang Hak
Asasi Manusia (HAM), yang berindikasi pada libralisme kehidupan bangsa, sebab
tidak senafas lagi dengan sila kedua Pancasila yaitu “kemanusiaan yang adil
dan beradab”.
Semangat keBhinekaan demi menjaga keutuhan bangsa
dari Sabang hingga ke Maroke yang didengungkan oleh para pendiri bangsa sejak
gerakan nasional ke-Indonesia-an 1908 (Budi Utomo), 1928 (Sumpah Pemuda) hingga
tercapainya era 1945 (Proklamasi Kemerdekaan) dengan tenggang waktu perjuangan lebih
kurang selama 37 tahun, tetapi spirit perjuangan itu telah diberedel habis oleh
kepentingan elite kapital yang berfaham neolib, melalui amandemen UUD 1945.
Salah satu contoh pembredelan dalam bidang ketatanegaraan yang sangat mendasar
dan jauh menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yaitu lepasnya kewenangan
Majelis Permusyawaratan Rayat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara yang
bertugas menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), sebagai acuan
Pemerintah (Ekskutif dan Legeslatif) dalam melaksanakan serta merancang
pembangunan bangsa dan negara. Sebelum amandemen UUD 1945, MPR merupakan
lembaga tertinggi negara yang keberadaanya sebagai implementasi
riil dari sila keempat Pancasila yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam PERMUSYAWATARAN perwakilan”.
Seharusnya Pancasila sebagai payung hukum negara dijalankan
secara utuh dan menyeluruh oleh segenap lapisan masyarakat, bangsa Indonesia. Hal
mana secara filosofis, Pancasila menginginkan manusia Indonesia menjadi manusia
yang untuh ber-keTuhanan yang Maha Esa, ber-kemanusiaan yang adil dan
berdadab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, serta memiliki
sikap demokratis atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, guna mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun keadaan berputar-putar tanpa
arah dan tujuan, sebab Pancasila hanya dijadikan simbol belaka yang secara umum
menjadikan manusia
Indonesia berTuhan tapi tidak berprikemanusaian
yang adil dan beradab, namun lebih pada kemanusiaan yang tidak
adil dan biadab. Keadaan seperti ini tentunya telah membawa kita
pada ranah perpecahan keutuhan Indonesia, meskipun kebijakan publik dijalankan dengan
berlandaskan pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, akan tetapi keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia itu tidak akan perah terwujud. Bangsa Indonesia terlanjur
berfikiran apatis, psimis dan tidak realistis, dengan jiwa-jiwa penuh dengan
kebohongan, kedustaan, hipokrit dan selalu berpura-pura pintar meskipun tau
akan kebodohannya.
Kebijakan-kebijakan ekonomi saat ini lebih ditujukan
pada kaum kapitalis (investor) dengan dalih sebagai upaya peningkatan
ekonomi ditengah krisis global, juga sebagai upaya untuk mengentaskan
kemiskinan dengan membuka lapangan kerja secara luas bagi seluruh rakyat
Indonesia, hingga tercapai kemakmuran bangsa. Yang jadi pokok permasalahan
secara mendasar tentang keberadaan investor asing (kapitalis) di Indonesia
justru telah menimbulkan kerusakan lingkungan, akibat eksploitasi kekayaan alam
Indonesia secara membabi-buta. Selanjutnya, meskipun para investor asing itu
membuka lapangan kerja bagi rakyat Indonesia, tapi mengapa justru yang terjadi
adalah negara ini menjadi eksportir besar pengiriman tenaga kerja keluar
negeri? Artinya investor asing itu gagal menciptakan lapangan kerja bagi rakyat
Indonesia.
Otonomi Daerah sebagai salah satu agenda reformasi,
yang diharapkan mampu membawa bangsa Indonesia lebih terjamin kesejahteraanya,
justru sebaliknya malah membawa dampak terjadinya kesenjangan sosial di daerah.
Pemerintah daerah secara umum tidak serius menjalankan tugas dan fungsinya
untuk menjadikan suatu daerah otonom lebih mandiri, adil dan sejahtera melalui
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia di daerahnya, malah yang
terjadi adalah terbukanya peluang Kolusi, Korupsi dan Nepotisme di daerah.
Penanaman modal asing (investor asing) di daerah
otonom, khususnya dibidang perkebunan, telah berdampak pada terjadinya sengketa
lahan antara masyarakat dan kaum investor (pihak perusahaan), namun belum
banyak usaha pemerintah untuk melindungi kepentingan masyarakatnya. Hal itu
tentunya juga tidak terlepas dari unsur politis, sebab seorang kepala daerah
yang terpilih sudah barang tentu memiliki hutang budi pada pihak perusahaan
sebagai pemilik modal. Kepala daerah otonom lebih cendrung menjadi raja-raja
kecil yang melindungi kaum feodal, sebab demokrasi dapat direkayasa menjadi
akal-akalan kaum kapital untuk mengeksploitasi kekayaan alam di daerah. Keadaan
ini tentunya sama seperti dimasa kolonialisme dan imperialisme pejajahan dahulu
dan mungkin suatu saat nanti bangsa kita akan kembali makan oyek dan tiwul
seperti pendahulunya dahulu di masa kolonial Belanda dan Jepang. Memang sungguh
sulit menegakkan demokrasi yang murni pada masyarakat yang masih serba
berkekurangan secara ekonomi.
Keadaan-keadaan yang telah diuraikan diatas tentunya
disebabkan oleh sistem tata hukum yang tidak lagi sejalan dengan kehendak para
pendiri bangsa. Seharusnya nafas-nafas Pancasila dijalankan secara murni dan
konsisten oleh segenap lapisan masyarakat, bangsa Indonesia. Selain itu agenda reformasi
tidak mesti harus mengubah semua sistem tata hukum negara yang telah disepakati
oleh para pendiri bangsa, sebab UUD 1945 murni produk elite politik para
pendiri bangsa dan bukan merupakan produk suatu rezim yang berkuasa sebelum
reformasi bergulir. Dalam hal ini, secara pribadi saya tidak menyalahkan adanya
amandemen UUD 1945, tetapi yang saya sesali adalah ketidak hati-hatian para
abdi negara dalam mengamandemen UUD 1945, meskipun berkali-kali dikatakan bahwa
amandemen itu untuk kepentingan segenap lapisan bangsa Indonesia, tapi keadaan
yang terjadi malah sebaliknya jauh panggang dari api.
Untuk itu di tahun-tahun politik menjelang pesta
demokrasi ini, saya mengharapkan kiranya visi dan misi para simpatisan Partai
Politik lebih menitik beratkan pada perubahan sistem tata hukum kenegaraan,
sebagaimana contoh adanya dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang hidupnya kembali
UUD 1945, sebagai implementasi kembali pada tujuan awal kemerdekaan Indonesia,
serta tegaknya Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Tanpa adanya pemikiran untuk
untuk menata ulang tata hukum negara, maka tujuan demokrasi untuk
mensejahterakan rakyat hanya sekedar nyanyian tanpa makna, fakta dan realita.
Mengutip kata-kata seorang sosiolog pernah
mengungkapkan bahwa “tidak ada hukum yang jatuh dari langit untuk menata suatu
negeri, akan tetapi untuk menata suatu negeri diperlukan penataan hukum lebih
dahulu”. Oleh karena itu, betapa pentingnya penataan hukum dalam dimensi
kehidupan politik, sosial dan budaya, hal ini lebih ditujukan guna melindungi
bangsa dan negara dari merosotnya peradaban akibat pergeseran nilai-nilai
sosial budaya yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi pada era globalisasi.
Para elite politik kedepan harus kembali meninjau ulang UUD 1945 hasil
Amandemen dan merumuskan kembali cita-cita para pendiri bangsa dalam suatu
konsep yang tentunya disesuaikan dengan perkembangan jaman, namun tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai budaya bangsa sebagai kekayaan budaya nasional
agar dapat bersahing setara dengan budaya Internasional, bukan malah sebaliknya,
anak dalam pangkuan dibuang, sedangkan beruk dihutan disusui. Akibatnya
masyarakat kita menjadi masyarakat yang konsumtif, terlebih saat ini generasi
muda tidak lagi memiliki
jiwa yang tangguh, malahan menjadi generasi yang lebay dan alay, sebab kemajuan
teknologi tidak dibatasi melalui sistem yang terarah dan bertanggung jawab.
Red. HH
0 komentar:
Posting Komentar