Definition List

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 01 September 2019

OTONOMI, BIROKRASI PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN DESA

Menggala, 01 September 2019
Oleh : Satria Ali, S.H Lahirnya Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, berdampak pada semakin luasnya perkembangan otonomi di daerah. Jauh sebelum era reformasi, keberadaan desa diatur melalui Undang Undang Nomor 19 tahun 1965 tentang Desapraja, merupakan regulasi pertama yang mengatur pemerintahan desa. Selanjutnya era Orde Baru, regulasi tentang Desapraja diperbaharui melalui Undang Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Lantas setelah 16 tahun reformasi dan otonomi daerah, barulah lahir Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.

Berikut ini perlu diterangkan pengertian Desa menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri. Selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979, Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014, definisi Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Definisi tentang desa menurut regulasi desa tersebut diatas, tentunya memiliki persamaan dan perbedaan dalam sajian redaksi kalimat, namun secara garis besar regulasi desa tetap mendefinisikan desa dengan unsurnya antara lain “kesatuan masyarakat hukum” dan “berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya berdasarkan prakarsa masyarakat”. Hal ini tentunya tidak terlepas dari adanya fenomena satuan komunitas asli penduduk Indonesia seperti Desa (Jawa), Nagari (Sumatera Barat), Huta (Sumatera Utara), Marga (Sumatera Selatan), Gampong (Aceh), Kampung (Kalimantan Timur) dan lain-lain. Satuan komunitas tersebut merupakan entitas kolektif yang didasarkan pada hubungan saling mengenal dan saling membantu dalam ikatan geneologis maupun tritorial. Satuan komunitas ini membentuk kesatuan masyarakat hukum yang pada asalnya bersifat komunal (A.P Edi Atmaja).

Sedangkan untuk wilayah Lampung kesatuan komunitas tersebut dikenal dengan sebutan Tiyuh, Anek atau pun Pekon, yang merupakan kesatuan dari komunitas terkecil yaitu Suku/clan (geneologis). Sedangkan untuk komunitas kesatuan Tiyuh baik secara tritorial maupun geneologis lebih dikenal dengan adanya sebutan Marga yang dipimpin oleh Pasirah Marga.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, sejalan dengan lahirnya Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, maka otonomi masyarakat desa lebih dipertegas lagi dengan adanya kucuran anggaran Dana Desa yang bersumber dari APBN maupun APBD setiap tahunnya. Dengan harapan agar desa sebagai pondasi ekonomi negara dapat lebih berperan aktif dalam menjalankan roda pemerintahan maupun pelaksanaan kegiatan  pembangunan di desa.

Sedangkan otonomi, sangat erat kaitannya dengan hukum dan demokrasi, sebab otonomi dimaksudkan sebagai upaya untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan prakarsa masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan sosial kemasyarakat. Sehingga pemberian otonomi dapat benar-benar bermanfaat Bagi kehidupan masyarakat setempat, khususnya masyarakat desa.

Dalam bukunya, Rahardjo Adisasmita mengungkapkan pembangunan di desa bersifat multi aspek, oleh karena itu perlu dianalisa/secara lebih terarah dan serba keterkaitan dengan bidang sektor, dan aspek diluar pedesaan (fisik, nonfisik, ekonomi dan non ekonomi, sosbud dan non spasial). Adapun ruang lingkup pengembangan pedesaan meliputi : pembangunan sarana dan prasarana pedesaan (pengairan, jalan, lingkungan pemukiman, dan lainnya); pemberdayaan masyarakat; pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia; Menciptakan lapangan kerja, kesempatan berusaha, peningkatan pendapatan; serta penataan keterkaitan antar kawasan pedesaan dengan kawasan perkotaan. (Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan, 2006 : 17 dan 19)

Oleh karena pembangunan desa bersifat multi aspek, maka sangat urgen sekali membentuk sistem managemen pemerintahan desa yang baik, terutama keberadaan perangkat desa sebagai motor penggerak administrasi dan birokrasi pemerintahan desa, sebagaimana yang diamanatkan oleh Permendagri Nomor 67 tahun 2017 tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 83 tahun 2015  tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa, serta Permendagri Nomor 84 tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa. Mark Turner dan David Hulme dalam bukunya Governance, Administration and Development (1997) menyatakan bahwa kemunculan permasalahan terhadap tingkat profesionalitas birokrasi pada negara dunia ketiga merupakan implikasi dari kolonialisme. Kolonialisme membangun paradigma birokrasi yang berorientasi pada pengawasan dan pengendalian masyarakat. Birokrasi di Indonesia tak ubahnya seperti birokrasi-birokrasi pada umumnya, dimana mereka harus menghadapi keragu-raguan dari masyarakat. (Wicaksono K.W; Administrasi dan Birokrasi Pemerintahan, 2006 : 10)

Apabila managemen pemerintahan desa dapat dibangun melalui sumber daya manusia yang memadai, maka birokrasi pemerintahan desa dapat berjalan dengan baik, hal ini tentunya akan berpengaruh pada pelaksanaan pembangunan desa. Dengan demikian, kucuran anggaran dana desa dapat lebih efektif dan efisien baik itu dibidang pembangunan fisik maupun nonfisik, terlebih lagi dapat benar-benar bermanfaat dalam menggali potensi sumber pendapatan asli desa, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Setidaknya ada beberapa sektor yang dapat dijadikan andalan sebagai sumber pendapatan asli desa, yaitu sektor pertanian/perkebunan, sektor peternakan/perikanan, sektor industri rumah tangga dan sektor kebudayaan dan pariwisata.

Adapun pelaksanaan kegiatan pembangunan desa bertumpu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa yang dirancang oleh Pemerintah Desa dan disahkan bersama-sama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Tujuan pembangunan pedesaan jangka panjang adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan secara langsung melalui peningkatan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan pendapatan berdasarkan pendekatan bina lingkungan, bina usaha dan bina manusia, dan secara tidak langsung adalah meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi pembangunan nasional. Sedangkan tujuan pembangunan pedesaan jangka pendek adalah untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan ekonomi dan pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya alam. (Rahardjo Adisasmita; Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan, 2006 :18)

RPJM Desa merupakan landasan pokok dalam pembangunan sebuah desa, sehingga kontruksi rancangan RPJM Desa harus dirancang sebaik mungkin, agar visi dan misi desa dapat terlaksana sesuai dengan harapan. Akan tetapi dengan sistem aturan hukum yang ada terkait penggunaan dana desa (70% Pembangunan Infrastruktur dan 30% Pemberdayaan) sebagai acuan pemerintahan desa dalam melaksanakan pembangunan, maka hal ini menjadi ganjalan pemerintahan desa terkait pelaksanaan kegiatan berbagai sektor pembangunan di desanya. Sehingga seakan-akan otonomi desa tidak berjalan sesuai harapan.

Oleh karena itu, sangat penting sekali RPJM Desa sebagai acuan pembangunan desa, dirancang dengan membagi tahapan pembangunan yaitu 3 tahun diarahkan pembangunan ekonomi dan Sumber Daya Manusia, sedangkan 3 tahun berikutnya diarahkan pada tahapan pembangunan infrastruktur. Dengan kontruksi RPJM Desa yang demikian, maka Desa dapat mengubah flatform 70% pemberdayaan dan 30% Pembangunan Infrastruktur selama 3 tahun berturut-turut, begitupun sebaliknya. Sehingga dalam 6 tahun masa jabatan Kepala Desa terdapat keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Namun hal itu tentunya memerlukan analisa secara akademis terkait tipologi desa. Jangan sampai, kebijakan yang tidak tepat sasaran akan berdapak pada pemborosan anggaran. Untuk itu perlu adanya analisa secara akademis terlebih dahulu khususnya yang berkaitan dengan kajian tipologi desa, sehingga kegiatan pengembangan ekonomi desa, diharapkan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat desa _mengolah limbah, menuai laba, sehingga Pendapatan Asli Desa dapat meningkat secara berkelanjutan.