Definition List

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 15 April 2013

Otonomi Masyarakat Hukum Adat

Sejak digulirkannya era reformasi, otonomi daerah dan supremasi hukum, telah membawa perubahan yang signifikan terhadap sistem pengaturan komunitas masyarakat hukum adat melalui amandemen UUD 1945 Pasal I8B. Sayang keadaan ini tidak membuat kehidupan masyarakat hukum adat menjadi lebih baik, bahkan keadaannya semakin memperihatinkan. Masyarakat hukum adat semakin tergerus oleh kepentingan segelitir elite politik demi memenuhi sahwat politiknya untuk menggapai kekuasaan.
Keadaan itu semakin tidak menguntungkan komunitas masyarakat hukum adat, sebab sebagai contoh pertikaian konflik agraria antara pihak kapitalis (dalam hal ini merupakan pihak perusahaan swasta) dengan pihak komunitas masyarakat hukum adat (sebagai pengakuan adanya hak ulayat) tidak pernah mendapatkan respon yang positif dari pihak pemerintah daerah, dalam rangka melindungi dan menegakkan otoritas masyarakat hukum adat, yang ada hanyalah janji-janji yang penuh dengan kepalsuan. Demokrasi yang didengungkan itu hanyalah ditujukan guna melindungi hak-hak kapitalis yang telah menggerogoti dan mengorbankan hak-hak masyarakat hukum adat sebagai masyarakat marginal dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejalan dengan hal tersebut diatas, bertalian dengan adanya konflik kepentingan khususnya mengenai tampuk pimpinan masyarakat hukum adat Megou Pak Tulang Bawang yang telah melahirkan empat (4) pucuk pimpinan yang berbeda-beda secara geopolitik, adalah karena ketidak pahaman beberapa unsur punyimbang adat dalam merespon gerak laju perubahan politik dan hukum dinegeri ini, sebab sejak hapusnya pemerintahan Marga di Lampung 1952 (Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia : 127) tidak pernah ada gugatan secara riil oleh para Punyimbang Adat Marga dalam menanggapi hapusnya pemerintahan Marga di Lampung.
Bahkan pernah diwacanakan adanya pemekaran Kabupaten nama Panaragan (sekarang wilayah eks Kabupaten Tulang Bawang), yang digagas oleh Lembaga Masyarakat Adat Panaragan serta dituangkan melalui Keputusan Lembaga Adat pada 20 Juli 2005, dengan maksud agar Kabupaten tersebut dilahirkan atas dasar Pasal 18B UUD1945, sehingga Kabupaten tersebut merupakan Kabupaten yang berADAT, akan tetapi kenyataannya adalah telah terjadi penyimpangan serta pelecehan keputusan Lembaga Adat dimaksud oleh oknum-oknum tertentu, yang diataranya mungkin saat ini telah menjabat sebagai pucuk pimpinan Ketua Lembaga Adat Megou Pak Tulang Bawang. Untuk apa memegang pimpinan adat jika tidak ada komitmen untuk mengangkat kembali citra masyarakat hukum adat dalam kancah politik di negeri ini??
Otonomi yang didengungkan saat ini hanyalah menguntungkan pihak-pihak birokrasi pemerintah daerah, pihak kapitalis (Perusahaan Swasta), juga para elit politik yang memegang peran sebagai pembuka keran otonomi daerah, sedangkan fungsi kelompok marginal cuma sekedar menjadi kayu api bagi segelintir elite (R.Yando Zakaria, Praktisi Antropolog pada Institut for Sosial Transpormation/Insist Yogyakarta), dalam rangka menghidupkan bara api otonomi. Bukankah pemberian otonomi daerah tentunya sejalan dengan pemuliaan identitas budaya di masing-masing daerah di Indonesia, tapi kenyataannya adalah jauh panggang dari api.
Sebaiknya Partai Politik yang mencalonkan seorang kepala daerah yang berasal dari unsur birokrasi pemerintah, tidak mendapatkan tempat dalam kehidupan demokrasi, sebab secara rasional Kepala Daerah adalah jabatan yang bersifat Politis, yang tentunya seorang politisilah yang pantas untuk menduduki jabatan dimaksud, sebab jika seorang birokrat menduduki jabatan yang bersifat politis, maka sudah barang tentu dia tidak akan mengaspirasikan suara masyarakat sipil (masyarakat adat), melainkan hanyalah kepentingan birokrasinya saja yang lebih diutamakannya. Coba dilihat secara arif dan bijaksana sudah berapakah kader Partai Politik murni yang menduduki jabatan kepala daerah se-Kabupaten di Lampung ini.
Untuk itu perlu kita sebagai sanak Punyimbang kembali berinstropeksi diri serta sadar (NGEBERENGOH), bahwa dalam era globalisasi saat ini penuh dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi, sehingga kearifan budaya lokal khususnya budaya Lampung dapat terus berkembang secara berkesinambungan dalam rangka menjawab tantangan zaman yang terus berkembang secara berkelanjutan. Bukankah demokrasi merupakan syarat yang diperlukan melindungi masyarakat adat (Sarwono Kusuma Atmadja, Mantan Menteri Negara dan Pemberdayaan Aparatur Negara).
.
Sebaiknya para Punyimbang adat Lampung NGEBERENGOH, dan kembali pada tatanan musyawarah adat secara bulat dan utuh guna mewujudkan konsensus politik adat, sehingga diharapkan kedepan masyarakat hukum adat dapat berperan secara aktif dalam kancah politik di daerah. Bukan punyimbang yang hebat yang kita perlukan, bukan pula punyimbang yang gagah yang kita perlukan, bukan kampung yang tua, yang kita butuhkan, bukan pula kampung yang eks kerajaan, penuh dengan kemistikan yang kita butuhkan, akan tetapi komitmen untuk mengembalikan sistem pemerintahan Marga di Lampung adalah hal yang sangat krusial untuk kita dengungkan bersama secara utuh dan menyeluruh jak ujung Danau Ranau teliyew mit Way Kanan sampai Pantai Laut Jawa, atau bahkan dari Ranau hingga ke Teladas, dari Palas Hingga ke Bengkunat, bersatu padu mendengungkan kembalinya sistem Pemerintahan Marga di Lampung melalui UUD 1945 Pasal 18B berikut penjelasannya yang tetap menuangkan adanya kata Marga. Dengan demikian, upaya mewujudkan otonomi masyarakat adat niscaya dan harus memasuki arena politik, yang berpusat pada perubahan kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat dan secara bersama-sama dilakukan penataan ulang hubungan antara pemerintah (melalui kebijakan) dan komunitas-komunitas adat, penguasaan atas wilayahnya, kelembagaan adatnya, dan hukum adat beserta perangkatnya (Noer Fauzi, Konsorsium untuk Pembangunan Agraria Bandung).
Secara historis, Lampung juga mengenal adanya konsep dewa trimurti, hanya saja konsep itu berbeda dalam penyebutannya. Adapun konsep trimurti masyarakat Lampung yaitu Dewa Pun (Dewa Brahma), Dewa Hung (Dewa Wisnu) dan Dewa Duguk (Dewa Siwa), oleh karena itu seorang pemimpin masyarakat Lampung disebut Punyimbang. Punyimbang tentunya adalah sosok yang sangat dihormati dan disegani di kalangan komunitas masyarakat hukum adat secara geniologis, sebab, kata Punyimbang berasal dari dua suku kata, yaitu “Pun” dan “Nyimbang”, Pun berarti Dewa tertinggi dalam konsep trimurti (dewa Brahma) Lampung, sedangkan kata Nyimbang berarti meniru. Secara bahasa Punyimbang berarti meniru segala tingkah laku dewa (Achjarani Alf.). Bagaimana kelompok masyarakat hukum adat itu mau tunduk kepada Punyimbangnya, sedangkan punyimbangnya tidak dapat dijadikan panutan sebagai halnya Dewa Pun (Dewa Brahma). Untuk itu kembali kita pada pokok persolaan, dimanakah para Punyimbang Adat itu ketika sistem Pemerintahan Marga di Lampung hapus secara terselubung.
Adapun sistem pemerintahan adat Lampung telah terorganisir secara baik, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tiga (3) warna Payung Agung yaitu Putih melambangkan Pemerintahan Marga dengan nilai adatnya dua puluh empat (24), Payung Agung berwarna Kuning melambangkan Pemerintahan Tiyuh dengan nilai adatnya dua belas (12), sedangkan Payung Agung berwarna merah melambangkan adanya Pemerintahan Suku dengan nilai adatnya enam (6). Nilai adat secara hukum dapat diartikan bahwa masyarakat hukum adat Lampung tidak mengenal adanya persamaan dalam hukuman, sebab besar kemungkinan jika seorang Punyimbang Adat Lampung berpangkat Marga melakukan tindak pidana, maka hukumannya tentu lebih tinggi dari pada Punyimbang Tiyuh atau Suku. Setidaknya jika diterapkan dalam sistem hukum di negeri ini, berarti juga ketika seorang pejabat melakukan tindak pidana, maka hukumannya lebih berat daripada masyarakat biasa.
Untuk itu perlunya persatuan dan kesatuan komunitas masyarakat hukum adat guna menegakkan otonomi masyarakat hukum adat, sehingga masyarakat hukum adat dapat terlibat secara langsung dalam menata kehidupan politik di negeri ini, terkhusus menata daerah dalam rangka mengisi pembangunan daerah yang sejalan dengan otonomi daerah, serta tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa melalui empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
Pd prinsipnya, hukum adat Lampung Pepadun tdk mengenal adanya asaz persamaan dlm hukum, sebagaimana yg dianut oleh sistem tata hukum Indonesia {Ps.27 ayat (1) UUD 1945}. Hal tersebut dpt terlihat dg adanya sistem pemisahan kekuasaan geneologis-tritorial dlm sistem pemerintahan adat Lampung sebagaimana adanya tiga buah warna Payung Agung (Merah, Putih dan Kuning) dg masing2 nilai adatnya; Putih (Marga) nilai adatnya 24, Kuning (Tiyuh) nilai adatnya 12, serta Merah (Suku) dg nilai adatnya 6. Secara hukum, nilai adat dimaksud juga mengisyaratkan bahwa jika seorang Lampung berpangkat kepunyimbangan Marga melakukan suatu tindak pidana, maka hukumannya lebih berat daripada seorang yang berpangkat punyimbang suku maupun Punyimbang tiyuh.

Mengapa tdk adanya persamaan dlm kedudukan hukum pd masyarakat adat Lampung adalah guna menjamin kepastian hukum adat, mengingat setiap tingkat jabatan adalah panutan bagi tingkatan jabatan yg ada dibawahnya.

Andai kata asaz hukum tersebut diterapkan di negeri ini, maka berarti juga jika seorang aparatur pemerintah melakukan tindak kejahatan, baik korupsi dan lain-lain, maka hukumannya lebih berat daripada masyarakat biasa. Sebab secara faktual merekalah yg semestinya menjadi panutan masyarakat dlm menjalankan aturan hukum secara akuntabel, transparan, nyata dan tegas.

Dengan begitu, tentunya tdk ada rasa kecemburuan sosial antara pemerintah dan masyarakat (yg diperintah).

Oleh : Satria Ali 
(Pemegang Mandat Lembaga Adat Panaragan/Pembantu Team Sembilan Panaragan)