Definition List

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 05 Februari 2021

74 TAHUN HMI UNTUK NEGERI

Oleh : Sartia Ali, S.H. (Sekum HMI Cab. TUBA 2006)

Kurang lebih lima bulan setelah Proklamsi kemerdekaan, tepat pada tanggal 4 Januari 1946 Ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta, hal ini disebabkan oleh karena tibanya tentara Belanda di Jakarta dengan membonceng tentara Sekutu pada bulan September 1945. Selang setahun pindahnya ibukota negara ke Yogyakarta, maka tepat pada tanggal 5 Februari 1947, beberapa Mahasiswa Islam yang di pelopori oleh Lafran Pane, mendeklarasikan berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai salah satu wadah perjuangan Revolusi Indonesia yang sedang bergolak diseluruh penjuru tanah air Indonesia untuk mempertahakan kemerdekaan.

Secara de facto maupun de jure bahwa berdirinya HMI di Yogyakarta cukuplah memiliki alasan yang tepat, sebab Yogyakarta pada tahun 1947 merupakan Ibukota Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, berdirinya HMI pada masa pergolakan revolusi kemerdekaan, tentunya merupakan sebuah bentuk kesadaran sosial-politik mahasiswa dalam upaya mempertahan kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diperjuangkan sejak tahun 1908, 1928 hingga 1945. Dalam masa genting saat itu, para mahasiswa sadar akan pentingnya sebuah wadah untuk menyatukan segala daya dan upaya guna mempertahankan kemerdekaan, sebagai cita-cita seluruh bangsa Indonesia yang menginginkan kebebasan dalam berbangsa, lepas dari belenggu kolonialisme dan imperialisme.

Atas dasar latarbelakang sejarah lahirnya HMI, maka tidak mengherankan jika HMI menjadi sebuah organisasi pergerakan yang menjelma menjadi sebuah organisasi pengkaderan dan terus eksis berkembang dalam kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara. Sejak era revolusi kemerdekaan maupun era reformasi, dan hingga saat ini HMI telah banyak melahirkan kader-kader yang berperan aktif dalam kehidupan sosial politik, bahkan ada pula diantara mereka yang saat ini masih menduduki jabatan-jabatan strategis dipusat maupun didaerah.

Kini HMI telah genap berusia 74 tahun, usia yang mungkin telah matang dalam memandang pola kehidupan sosial-politik bangsa Indonesia yang saat ini menjadikan demokrasi sebagai alat untuk menggapai kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial. Sebagai insan cita dan insan akademis, yang bertujuan untuk mewujudkan tatanan sosial yang diridhoi Allah SWT, kader-kader HMI tentunya memiliki pola pergerakan berbeda dari organisasi kemahasiswaan lainnya dalam menjawab segala dinamika kehidupan sosial-politik berbangsa dan bernegara.

Selamat memperingati hari jadi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke-74 tahun, semoga kader-kader HMI dapat terus berkiprah dan selalu menjadi solusi untuk bangsa Indonesia. Diusia ke 74 tahun, tentu sekali HMI harus lebih ekstra dalam menjaga keutuhan negara berdasarkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, serta tetap istiqomah menegakan ukuwah Islamiah dalam kehidupan sosial, bangsa dan negara.

 

Rabu, 01 Januari 2020

Refleksi 3 Tahun FMM Panaragan Dalam Tradisi

(Oleh : Satria Ali, S.H. Dewan Pembina FMM Panaragan)

Forum Mulei Menganai (FMM) Panaragan berdiri pada 9 November 2017 dan dikukuhkan menjadi sebuah organisasi resmi pada tanggal 31 Desember 2017 oleh Zaibun selaku Kepalo Tiyuh Panaragan, sebagai satu-satunya organisasi pemuda yang bergerak dibidang pelestarian dan pengembangan tradisi, adat dan budaya Lampung di Tiyuh/Desa Panaragan, Kec.Tulang Bawang Tengah Kab.Tulang Bawang Barat.

Latar belakang berdirinya Forum Mulei Menganai Panaragan tentunya tidak terlepas dari rasa prihatin para pemuda terhadap keberlangsungan dan eksistensi seni, adat dan budaya Lampung yang semakin hari mengalami dekadensi, tergerus dan terhimpit akibat perkembangan zaman diera globalisasi. Atas dasar latar belakang tersebut, beberapa tokoh pemuda mengadakan pertemuan guna menyatukan pokok-pokok pemikiran dalam rangka menyelamatkan seni, 

adat dan budaya Lampung agar tidak terpengaruh oleh perkembangan global yang lebih bersifat westernisasi.

Pertemuan para tokoh pemuda di Balai Tiyuh Panaragan pada tanggal 9 November 2017 menghasilkan kesepakatan dengan membentuk sebuah organisasi yang disepakati dengan nama Forum Mulei Menganai Panaragan serta memilih Andi Saputra sebagai Kepalo Menganai dan Nova Ria sebagai Kepalo Mulei. Selanjutnya pertemuan kedua menghasilkan beberapa pokok peraturan organisasi yang merupakan emberio dari AD/ART Organisasi. Salah satu poin pentingnya menetapkan anggota organisasi merupakan bujang-gadis yang berasal dari lima (5) Suku Adat sebagai pendiri inti Tiyuh Panaragan, yaitu Suku Tepuk Darak, Suku Tepuk Leban, Suku Bujung, Suku Lambow dan Suku Tepuk Gabow. Selain hal itu, dalam pertemuan itu juga disepakati bahwa Forum Mulei Menganai Panaragan merupakan organisasi yang tidak terpisahkan dari Lembaga Masyarakat Adat Panaragan. Pada pertemuan selanjutnya disepakati Racangan AD/ART (2/12/2017) yang telah dirancang oleh Tim Perumus  dengan Ketua tim Satria Ali, S.H. termasuk desain Logo organisasi dan pelaksanaan deklarasi/pengukuhan yang ditetapkan pada tanggal 31 Desember 2017.

Dalam perjalanannya, Forum Mulei Menganai (FMM) Panaragan kini telah berusia tiga (3) tahun sejak berdiri (2017-2019), dengan berbagai macam perkembangan yang melekatinya, khususnya dibidang seni klasik Lampung. Namun dalam hal ini tentunya perkembangan tersebut masih terdapat banyak kekurangan, antara lain belum terkafernya seni dan budaya Lampung secara keseluruhan, baik itu seni musik, seni suara maupun seni tari, termasuk juga pemahaman terhadap sejarah dan pranata hukum adat Lampung Megow Pak Tulang Bawang yang telah diatur melalui Peraturan Sepanjang Adat 1910/1913. Oleh karenanya dalam rangka memperingati hari jadi Forum Mulei Menganai (FMM) Panaragan yang ke 3 tahun, saya sangat mengharapkan kepada jajaran pengurus yang baru periode 2019-2021 dapat bekerja sama dengan Pemerintahan Tiyuh serta Tokoh Adat, guna mengagendakan sosialisasi terhadap pemahaman sejarah dan pranata hukum adat Lampung Megow Pak Tulang Bawang yang telah diatur melalui Peraturan Sepanjang Adat 1910/1913 kepada seluruh mulei mengani Panaragan, sehingga hal tersebut dapat menjadi salah satu program kerja bagi pengurus yang baru. Dengan demikian, saya berharap mulei menganai Panaragan mendapatkan pemahaman terhadap sejarah dan pranata hukum adat, sebagai modal dasar dalam membangun dan menumbuh kembangkan seni, adat dan budaya Lampung.

Selain itu, saya juga berharap kiranya Kepalo Menganai dan Kepalo Mulei yang baru dapat bekerja sama dengan berbagai pihak, khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang Barat, guna mendapatkan dukungan penuh terkait pelestarian dan pegembangan seni, adat dan budaya Lampung. Hal itu merupakan PR besar bagi generasi muda yang tergabung dalam Forum Mulei Menganai (FMM) Panaragan, karena seyogyanya FMM Panaragan merupakan organisasi di tingkat Desa, namun berasa Kabupaten, oleh karenanya sangat membutuhkan perhatian dan dukungan penuh dari berbagai pihak.

By Kreat ; MEDIA INDEPENDEN

Minggu, 01 September 2019

OTONOMI, BIROKRASI PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN DESA

Menggala, 01 September 2019
Oleh : Satria Ali, S.H Lahirnya Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, berdampak pada semakin luasnya perkembangan otonomi di daerah. Jauh sebelum era reformasi, keberadaan desa diatur melalui Undang Undang Nomor 19 tahun 1965 tentang Desapraja, merupakan regulasi pertama yang mengatur pemerintahan desa. Selanjutnya era Orde Baru, regulasi tentang Desapraja diperbaharui melalui Undang Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Lantas setelah 16 tahun reformasi dan otonomi daerah, barulah lahir Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.

Berikut ini perlu diterangkan pengertian Desa menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri. Selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979, Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014, definisi Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Definisi tentang desa menurut regulasi desa tersebut diatas, tentunya memiliki persamaan dan perbedaan dalam sajian redaksi kalimat, namun secara garis besar regulasi desa tetap mendefinisikan desa dengan unsurnya antara lain “kesatuan masyarakat hukum” dan “berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya berdasarkan prakarsa masyarakat”. Hal ini tentunya tidak terlepas dari adanya fenomena satuan komunitas asli penduduk Indonesia seperti Desa (Jawa), Nagari (Sumatera Barat), Huta (Sumatera Utara), Marga (Sumatera Selatan), Gampong (Aceh), Kampung (Kalimantan Timur) dan lain-lain. Satuan komunitas tersebut merupakan entitas kolektif yang didasarkan pada hubungan saling mengenal dan saling membantu dalam ikatan geneologis maupun tritorial. Satuan komunitas ini membentuk kesatuan masyarakat hukum yang pada asalnya bersifat komunal (A.P Edi Atmaja).

Sedangkan untuk wilayah Lampung kesatuan komunitas tersebut dikenal dengan sebutan Tiyuh, Anek atau pun Pekon, yang merupakan kesatuan dari komunitas terkecil yaitu Suku/clan (geneologis). Sedangkan untuk komunitas kesatuan Tiyuh baik secara tritorial maupun geneologis lebih dikenal dengan adanya sebutan Marga yang dipimpin oleh Pasirah Marga.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, sejalan dengan lahirnya Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, maka otonomi masyarakat desa lebih dipertegas lagi dengan adanya kucuran anggaran Dana Desa yang bersumber dari APBN maupun APBD setiap tahunnya. Dengan harapan agar desa sebagai pondasi ekonomi negara dapat lebih berperan aktif dalam menjalankan roda pemerintahan maupun pelaksanaan kegiatan  pembangunan di desa.

Sedangkan otonomi, sangat erat kaitannya dengan hukum dan demokrasi, sebab otonomi dimaksudkan sebagai upaya untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan prakarsa masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan sosial kemasyarakat. Sehingga pemberian otonomi dapat benar-benar bermanfaat Bagi kehidupan masyarakat setempat, khususnya masyarakat desa.

Dalam bukunya, Rahardjo Adisasmita mengungkapkan pembangunan di desa bersifat multi aspek, oleh karena itu perlu dianalisa/secara lebih terarah dan serba keterkaitan dengan bidang sektor, dan aspek diluar pedesaan (fisik, nonfisik, ekonomi dan non ekonomi, sosbud dan non spasial). Adapun ruang lingkup pengembangan pedesaan meliputi : pembangunan sarana dan prasarana pedesaan (pengairan, jalan, lingkungan pemukiman, dan lainnya); pemberdayaan masyarakat; pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia; Menciptakan lapangan kerja, kesempatan berusaha, peningkatan pendapatan; serta penataan keterkaitan antar kawasan pedesaan dengan kawasan perkotaan. (Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan, 2006 : 17 dan 19)

Oleh karena pembangunan desa bersifat multi aspek, maka sangat urgen sekali membentuk sistem managemen pemerintahan desa yang baik, terutama keberadaan perangkat desa sebagai motor penggerak administrasi dan birokrasi pemerintahan desa, sebagaimana yang diamanatkan oleh Permendagri Nomor 67 tahun 2017 tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 83 tahun 2015  tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa, serta Permendagri Nomor 84 tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa. Mark Turner dan David Hulme dalam bukunya Governance, Administration and Development (1997) menyatakan bahwa kemunculan permasalahan terhadap tingkat profesionalitas birokrasi pada negara dunia ketiga merupakan implikasi dari kolonialisme. Kolonialisme membangun paradigma birokrasi yang berorientasi pada pengawasan dan pengendalian masyarakat. Birokrasi di Indonesia tak ubahnya seperti birokrasi-birokrasi pada umumnya, dimana mereka harus menghadapi keragu-raguan dari masyarakat. (Wicaksono K.W; Administrasi dan Birokrasi Pemerintahan, 2006 : 10)

Apabila managemen pemerintahan desa dapat dibangun melalui sumber daya manusia yang memadai, maka birokrasi pemerintahan desa dapat berjalan dengan baik, hal ini tentunya akan berpengaruh pada pelaksanaan pembangunan desa. Dengan demikian, kucuran anggaran dana desa dapat lebih efektif dan efisien baik itu dibidang pembangunan fisik maupun nonfisik, terlebih lagi dapat benar-benar bermanfaat dalam menggali potensi sumber pendapatan asli desa, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Setidaknya ada beberapa sektor yang dapat dijadikan andalan sebagai sumber pendapatan asli desa, yaitu sektor pertanian/perkebunan, sektor peternakan/perikanan, sektor industri rumah tangga dan sektor kebudayaan dan pariwisata.

Adapun pelaksanaan kegiatan pembangunan desa bertumpu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa yang dirancang oleh Pemerintah Desa dan disahkan bersama-sama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Tujuan pembangunan pedesaan jangka panjang adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan secara langsung melalui peningkatan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan pendapatan berdasarkan pendekatan bina lingkungan, bina usaha dan bina manusia, dan secara tidak langsung adalah meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi pembangunan nasional. Sedangkan tujuan pembangunan pedesaan jangka pendek adalah untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan ekonomi dan pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya alam. (Rahardjo Adisasmita; Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan, 2006 :18)

RPJM Desa merupakan landasan pokok dalam pembangunan sebuah desa, sehingga kontruksi rancangan RPJM Desa harus dirancang sebaik mungkin, agar visi dan misi desa dapat terlaksana sesuai dengan harapan. Akan tetapi dengan sistem aturan hukum yang ada terkait penggunaan dana desa (70% Pembangunan Infrastruktur dan 30% Pemberdayaan) sebagai acuan pemerintahan desa dalam melaksanakan pembangunan, maka hal ini menjadi ganjalan pemerintahan desa terkait pelaksanaan kegiatan berbagai sektor pembangunan di desanya. Sehingga seakan-akan otonomi desa tidak berjalan sesuai harapan.

Oleh karena itu, sangat penting sekali RPJM Desa sebagai acuan pembangunan desa, dirancang dengan membagi tahapan pembangunan yaitu 3 tahun diarahkan pembangunan ekonomi dan Sumber Daya Manusia, sedangkan 3 tahun berikutnya diarahkan pada tahapan pembangunan infrastruktur. Dengan kontruksi RPJM Desa yang demikian, maka Desa dapat mengubah flatform 70% pemberdayaan dan 30% Pembangunan Infrastruktur selama 3 tahun berturut-turut, begitupun sebaliknya. Sehingga dalam 6 tahun masa jabatan Kepala Desa terdapat keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Namun hal itu tentunya memerlukan analisa secara akademis terkait tipologi desa. Jangan sampai, kebijakan yang tidak tepat sasaran akan berdapak pada pemborosan anggaran. Untuk itu perlu adanya analisa secara akademis terlebih dahulu khususnya yang berkaitan dengan kajian tipologi desa, sehingga kegiatan pengembangan ekonomi desa, diharapkan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat desa _mengolah limbah, menuai laba, sehingga Pendapatan Asli Desa dapat meningkat secara berkelanjutan.

Minggu, 03 September 2017

Enak sekarang atau zaman Soeharto?

Gambar di bak truk dan stiker itu seolah menyindir kondisi Indonesia setelah reformasi. Sosok Presiden kedua Republik Indonesia tersenyum. Di sebelahnya tertulis 'isih penak zamanku tho le?'. Artinya masih enak zamanku kan nak?

Sosok Soeharto masih menjadi kontroversi hingga saat ini. Rakyat kecil mengingatnya sebagai pahlawan yang menyediakan bensin murah dan beras yang bisa dijangkau. Mereka yang ketika itu tak bersentuhan dengan politik dan pergerakan, akan langsung mengangguk setuju jika ditanya zaman Soeharto lebih enak.
Sementara itu kalangan aktivis dan politikus mengingat Orde Baru sebagai masa represif bak mimpi buruk. Sedikit-sedikit enak saja aparat menangkap orang. Tuduhan subversif pada saat itu mungkin sama dengan menyeramkannya dengan cap teroris yang disematkan Densus 88 Polri saat ini.
"Secara politik memang masyarakat tidak cukup puas dengan masa reformasi, terutama pada periode 2009-2014. Hal ini terjadi karena kondisi saat ini secara konstelasi politik sangat ekstrem, sehingga terkesan seperti ada wilayah tak bertuan. Dan harus kita akui, rezim Soeharto punya kelebihan, ekonomi makro dan stabilitas politik," ujar pengamat politik Charta Politika Yunarto Wijaya saat berbincang dengan merdeka.com.
Meski di zaman Orde Baru tidak ada demokrasi dan pemerintah sangat otoriter, masyarakat tidak pernah melihat hal itu. Rakyat lebih melihat pada stabilitas ekonomi dan juga rasa aman dan nyaman yang dibuat oleh rezim saat itu.

Polemik soal gelar pahlawan bagi Soeharto pun masih penuh perdebatan. Sebagian setuju, sebagian menolak mentah-mentah. Sebagian menganggap Soeharto pahlawan pembangunan dan penyelamat Pancasila. Sebagian lagi menganggap Soeharto berlumuran darah atas berbagai aksi pembantaian selama peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan seterusnya.

Di Bulan Maret ini, ada dua peristiwa yang sangat lekat dengan Soeharto. Yang pertama Serangan Oemom 1 Maret 1949. Inilah kali pertama Soeharto menyedot perhatian karena prestasinya memimpin serangan umum di Yogyakarta. Lalu ada Surat Perintah 11 Maret. Dua peristiwa yang saat ini masih menjadi kontroversi.

Karena itu pula tim redaksi merdeka.com akan mengulas sosok Soeharto selama sebulan penuh. Bulan Maret kami sebut dengan Bulan Soeharto. Sama dengan saat kami menghormati Soekarno dengan menyebut Bulan Juni sebagai Bulan Soekarno.

Pastinya tak cuma polemik yang akan ditulis, tetapi juga keseharian sang jenderal yang murah senyum ini. Jika Soekarno punya seribu cerita menarik, Soeharto juga.

Tentu bukan karena kami ingin Orde Baru kembali, maka kami menuliskan Soeharto. Tulisan Soeharto sekadar memperkaya pengetahuan akan sejarah seperti yang biasa merdeka.com sajikan. Sama seperti saat kami menulis soal Soekarno, Ali Sadikin, Jenderal Hoegeng, Tirto Adhi Soerjo, Mohammad Natsir dan lainnya. Selamat membaca.

Otonomi Masyarakat Hukum Adat

Sejak digulirkannya era reformasi, otonomi daerah dan supremasi hukum, telah membawa perubahan yang signifikan terhadap sistem pengaturan komunitas masyarakat hukum adat melalui amandemen UUD 1945 Pasal I8B. Sayang keadaan ini tidak membuat kehidupan masyarakat hukum adat menjadi lebih baik, bahkan keadaannya semakin memperihatinkan. Masyarakat hukum adat semakin tergerus oleh kepentingan segelitir elite politik demi memenuhi sahwat politiknya untuk menggapai kekuasaan.

Keadaan itu semakin tidak menguntungkan komunitas masyarakat hukum adat, sebab sebagai contoh pertikaian konflik agraria antara pihak kapitalis (dalam hal ini merupakan pihak perusahaan swasta) dengan pihak komunitas masyarakat hukum adat (sebagai pengakuan adanya hak ulayat) tidak pernah mendapatkan respon yang positif dari pihak pemerintah daerah, dalam rangka melindungi dan menegakkan otoritas masyarakat hukum adat, yang ada hanyalah janji-janji yang penuh dengan kepalsuan. Demokrasi yang didengungkan itu hanyalah ditujukan guna melindungi hak-hak kapitalis yang telah menggerogoti dan mengorbankan hak-hak masyarakat hukum adat sebagai masyarakat marginal dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sejalan dengan hal tersebut diatas, bertalian dengan adanya konflik kepentingan khususnya mengenai tampuk pimpinan masyarakat hukum adat Megou Pak Tulang Bawang yang telah melahirkan empat (4) pucuk pimpinan yang berbeda-beda secara geopolitik, adalah karena ketidak pahaman beberapa unsur punyimbang adat dalam merespon gerak laju perubahan politik dan hukum dinegeri ini, sebab sejak hapusnya pemerintahan Marga di Lampung 1952 (Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia : 127) tidak pernah ada gugatan secara riil oleh para Punyimbang Adat Marga dalam menanggapi hapusnya pemerintahan Marga di Lampung.

Bahkan pernah diwacanakan adanya pemekaran Kabupaten nama Panaragan (sekarang wilayah eks Kabupaten Tulang Bawang), yang digagas oleh Lembaga Masyarakat Adat Panaragan serta dituangkan melalui Keputusan Lembaga Adat pada 20 Juli 2005, dengan maksud agar Kabupaten tersebut dilahirkan atas dasar Pasal 18B UUD1945, sehingga Kabupaten tersebut merupakan Kabupaten yang berADAT, akan tetapi kenyataannya adalah telah terjadi penyimpangan serta pelecehan keputusan Lembaga Adat dimaksud oleh oknum-oknum tertentu, yang diataranya mungkin saat ini telah menjabat sebagai pucuk pimpinan Ketua Lembaga Adat Megou Pak Tulang Bawang. Untuk apa memegang pimpinan adat jika tidak ada komitmen untuk mengangkat kembali citra masyarakat hukum adat dalam kancah politik di negeri ini??

Otonomi yang didengungkan saat ini hanyalah menguntungkan pihak-pihak birokrasi pemerintah daerah, pihak kapitalis (Perusahaan Swasta), juga para elit politik yang memegang peran sebagai pembuka keran otonomi daerah, sedangkan fungsi kelompok marginal cuma sekedar menjadi kayu api bagi segelintir elite (R.Yando Zakaria, Praktisi Antropolog pada Institut for Sosial Transpormation/Insist Yogyakarta), dalam rangka menghidupkan bara api otonomi. Bukankah pemberian otonomi daerah tentunya sejalan dengan pemuliaan identitas budaya di masing-masing daerah di Indonesia, tapi kenyataannya adalah jauh panggang dari api.

Sebaiknya Partai Politik yang mencalonkan seorang kepala daerah yang berasal dari unsur birokrasi pemerintah, tidak mendapatkan tempat dalam kehidupan demokrasi, sebab secara rasional Kepala Daerah adalah jabatan yang bersifat Politis, yang tentunya seorang politisilah yang pantas untuk menduduki jabatan dimaksud, sebab jika seorang birokrat menduduki jabatan yang bersifat politis, maka sudah barang tentu dia tidak akan mengaspirasikan suara masyarakat sipil (masyarakat adat), melainkan hanyalah kepentingan birokrasinya saja yang lebih diutamakannya. Coba dilihat secara arif dan bijaksana sudah berapakah kader Partai Politik murni yang menduduki jabatan kepala daerah se-Kabupaten di Lampung ini.
Untuk itu perlu kita sebagai sanak Punyimbang kembali berinstropeksi diri serta sadar (NGEBERENGOH), bahwa dalam era globalisasi saat ini penuh dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi, sehingga kearifan budaya lokal khususnya budaya Lampung dapat terus berkembang secara berkesinambungan dalam rangka menjawab tantangan zaman yang terus berkembang secara berkelanjutan. Bukankah demokrasi merupakan syarat yang diperlukan melindungi masyarakat adat (Sarwono Kusuma Atmadja, Mantan Menteri Negara dan Pemberdayaan Aparatur Negara).
.
Sebaiknya para Punyimbang adat Lampung NGEBERENGOH, dan kembali pada tatanan musyawarah adat secara bulat dan utuh guna mewujudkan konsensus politik adat, sehingga diharapkan kedepan masyarakat hukum adat dapat berperan secara aktif dalam kancah politik di daerah. Bukan punyimbang yang hebat yang kita perlukan, bukan pula punyimbang yang gagah yang kita perlukan, bukan kampung yang tua, yang kita butuhkan, bukan pula kampung yang eks kerajaan, penuh dengan kemistikan yang kita butuhkan, akan tetapi komitmen untuk mengembalikan sistem pemerintahan Marga di Lampung adalah hal yang sangat krusial untuk kita dengungkan bersama secara utuh dan menyeluruh jak ujung Danau Ranau teliyew mit Way Kanan sampai Pantai Laut Jawa, atau bahkan dari Ranau hingga ke Teladas, dari Palas Hingga ke Bengkunat, bersatu padu mendengungkan kembalinya sistem Pemerintahan Marga di Lampung melalui UUD 1945 Pasal 18B berikut penjelasannya yang tetap menuangkan adanya kata Marga. Dengan demikian, upaya mewujudkan otonomi masyarakat adat niscaya dan harus memasuki arena politik, yang berpusat pada perubahan kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat dan secara bersama-sama dilakukan penataan ulang hubungan antara pemerintah (melalui kebijakan) dan komunitas-komunitas adat, penguasaan atas wilayahnya, kelembagaan adatnya, dan hukum adat beserta perangkatnya (Noer Fauzi, Konsorsium untuk Pembangunan Agraria Bandung).

Secara historis, Lampung juga mengenal adanya konsep dewa trimurti, hanya saja konsep itu berbeda dalam penyebutannya. Adapun konsep trimurti masyarakat Lampung yaitu Dewa Pun (Dewa Brahma), Dewa Hung (Dewa Wisnu) dan Dewa Duguk (Dewa Siwa), oleh karena itu seorang pemimpin masyarakat Lampung disebut Punyimbang. Punyimbang tentunya adalah sosok yang sangat dihormati dan disegani di kalangan komunitas masyarakat hukum adat secara geniologis, sebab, kata Punyimbang berasal dari dua suku kata, yaitu “Pun” dan “Nyimbang”, Pun berarti Dewa tertinggi dalam konsep trimurti (dewa Brahma) Lampung, sedangkan kata Nyimbang berarti meniru. Secara bahasa Punyimbang berarti meniru segala tingkah laku dewa (Achjarani Alf.). Bagaimana kelompok masyarakat hukum adat itu mau tunduk kepada Punyimbangnya, sedangkan punyimbangnya tidak dapat dijadikan panutan sebagai halnya Dewa Pun (Dewa Brahma). Untuk itu kembali kita pada pokok persolaan, dimanakah para Punyimbang Adat itu ketika sistem Pemerintahan Marga di Lampung hapus secara terselubung.

Adapun sistem pemerintahan adat Lampung telah terorganisir secara baik, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tiga (3) warna Payung Agung yaitu Putih melambangkan Pemerintahan Marga dengan nilai adatnya dua puluh empat (24), Payung Agung berwarna Kuning melambangkan Pemerintahan Tiyuh dengan nilai adatnya dua belas (12), sedangkan Payung Agung berwarna merah melambangkan adanya Pemerintahan Suku dengan nilai adatnya enam (6). Nilai adat secara hukum dapat diartikan bahwa masyarakat hukum adat Lampung tidak mengenal adanya persamaan dalam hukuman, sebab besar kemungkinan jika seorang Punyimbang Adat Lampung berpangkat Marga melakukan tindak pidana, maka hukumannya tentu lebih tinggi dari pada Punyimbang Tiyuh atau Suku. Setidaknya jika diterapkan dalam sistem hukum di negeri ini, berarti juga ketika seorang pejabat melakukan tindak pidana, maka hukumannya lebih berat daripada masyarakat biasa.

Untuk itu perlunya persatuan dan kesatuan komunitas masyarakat hukum adat guna menegakkan otonomi masyarakat hukum adat, sehingga masyarakat hukum adat dapat terlibat secara langsung dalam menata kehidupan politik di negeri ini, terkhusus menata daerah dalam rangka mengisi pembangunan daerah yang sejalan dengan otonomi daerah, serta tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa melalui empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
Pd prinsipnya, hukum adat Lampung Pepadun tdk mengenal adanya asaz persamaan dlm hukum, sebagaimana yg dianut oleh sistem tata hukum Indonesia {Ps.27 ayat (1) UUD 1945}. Hal tersebut dpt terlihat dg adanya sistem pemisahan kekuasaan geneologis-tritorial dlm sistem pemerintahan adat Lampung sebagaimana adanya tiga buah warna Payung Agung (Merah, Putih dan Kuning) dg masing2 nilai adatnya; Putih (Marga) nilai adatnya 24, Kuning (Tiyuh) nilai adatnya 12, serta Merah (Suku) dg nilai adatnya 6. Secara hukum, nilai adat dimaksud juga mengisyaratkan bahwa jika seorang Lampung berpangkat kepunyimbangan Marga melakukan suatu tindak pidana, maka hukumannya lebih berat daripada seorang yang berpangkat punyimbang suku maupun Punyimbang tiyuh. 

Mengapa tdk adanya persamaan dlm kedudukan hukum pd masyarakat adat Lampung adalah guna menjamin kepastian hukum adat, mengingat setiap tingkat jabatan adalah panutan bagi tingkatan jabatan yg ada dibawahnya. 

Andai kata asaz hukum tersebut diterapkan di negeri ini, maka berarti juga jika seorang aparatur pemerintah melakukan tindak kejahatan, baik korupsi dan lain-lain, maka hukumannya lebih berat daripada masyarakat biasa. Sebab secara faktual merekalah yg semestinya menjadi panutan masyarakat dlm menjalankan aturan hukum secara akuntabel, transparan, nyata dan tegas.

Dengan begitu, tentunya tdk ada rasa kecemburuan sosial antara pemerintah dan masyarakat (yg diperintah).
Oleh : Satria Ali  (Pemegang Mandat Lembaga Adat Panaragan/Pembantu Team Sembilan Panaragan)
 
 

Bimbingan Teknis Kurikulum 2013 lanjutan

 Menggala,   Workshop Bimbingan Teknis Kurikulum K13 TingkatMI/MIN, MTsS/MTSN, MA Se- Kabupaten Tulang Bawang ini merupakan kegiatan yang  dilaksanakan oleh Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tulang Bawang

 Tujuan Kegiatan :
a.  Tujuan Umum Kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kualitas
    guru dan Implementasi K13.
b.  Meningkatkan kualitas Guru Madrasah dalam  menyusun
Program dan Perencanaan Pembelajaran Kurikulum K13.
c.   Meningkatkan kemampuan kualitas Guru dalam melaksanakan
Kurikulum K13
d.  Meningkatkan kemampuan menejemen mutu madrasah
Berkaitan dengan inovasi manajerial  dengan K13

     Dasar hukum :

a.     Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional;
b.    Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan
Dosen;
c.      Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan;
d.    Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan;
e.      Peraturan Pemerintah  Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru;
f.       Peraturan Mendiknas Nomor 22 Tahun 2006  Tentang Standar Isi
g.     Peraturan Mendiknas Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar
Kulifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
h.    Peraturan Mendiknas Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Standar
Penilaian;


Pelaksanaan Workshop Bimbingan Teknis Kurikulum 2013 Se- Kabupaten Tulang Bawang dilaksanakan selama 3 (tigahari yaitu : Rabu s/d jumat tanggal 13 s/d 15 Januari 201di Hotel Sarbini Menggala Kabupaten Tulang Bawang.

     Peserta terdiri dari Guru MIN/MIS, MTsS/MTSN dan MA se Kabupaten Tulang Bawang, sebanyak 80 orang. harapan dari pelaksanaan Bimtek ini atau autput nya guru bisa lebih memahami dan menerapkan standar kurikulum yang di berlakukan saat ini.

Selasa, 01 November 2016

Makna dan Fakta Sumpah Pemuda; Refleksi Hari Sumpah Pemuda



Pemuda perwakilan beberapa daerah se-Nusantara berkumpul di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Perkumpulan pemuda yang tak mengenal golongan, ras ini melakukan kongres pemuda. Kongres tersebut juga dihadiri berbagai wakil organisasi diantaranya Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb serta pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie. Di acara ini pula, lagu kebangsaan Indonesia Raya pertama kali dikumandangkan W.R Sopratman.
Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda yang berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), kemudian melahirkan rumusan Sumpah Pemuda yang ditulis Moehammad Yamin pada sebuah kertas. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin. Adapun isinya sebagai berikut:
Pertama: Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Indonesia).
Kedoea: Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia).
Ketiga: Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia).
85 tahun berlalu, gagasan pemuda untuk satu kata; sebagai bagian dari bangsa besar yang satu bangsa, satu bahasa, dan satu tumpah darah, kini secara fakta telah berubah. Perlu dicari penyebab utamanya, ikrar pemuda dan menjadi sumpah kini hanya ada dalam kata dan mungkin sedikit semangat. Pemuda pemudi Indonesia sebagai pemegang estafet penerus bangsa sedikit demi sediki berubah sampai kemindset, dan tak sadar menjauh dari semangat sumpah Pemuda itu sendiri.

Makna Sumpah Pemuda sebagai tonggak awal berdirinya NKRI kini terkesan hanya selebrasi saja. Padahal, Sumpah Pemuda adalah bentuk kemandirian pemuda di bawah naungan Pancasila yang tak memandang suku, golongan, ras dan agama. Hakikat dari makna Sumpah Pemuda adalah keterlibatan pemuda dalam mengisi kemerdekaan dalam bentuk cinta tanah air, bangsa dan bahasa. Sumpah Pemuda adalah komitmen kebangsaan dalam bentuk deklarasi yang harus sesuai antara makna dan fakta. Kaum mudalah peletak dasar sendi keutuhan bangsa. Tak berlebihan jika Soekarno melontarkan kalimat yang motivasi kita,” Beri aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya, beri aku 10 orang pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Namun kini, pergeseran makna Sumpah Pemuda terlihat jelas dari gaya dan kebijakan pemerintah yang diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Makna Sumpah Pemuda sedikit demi sedikit berubah oleh keadaan yang terbentuk sistemik. Dari masalah kebangsaan; bagaimana Rupiah begitu tergantung kepada Dollar Amerika, bagaiamana Freeport “menyembur” dan keuntungannya hanya sekian persen ke Negara. Dari sisi bahasa; bagaimana kebijakan penerimaan tenaga kerja mewajibkan bahasa Inggris sebagai syarat kelulusan, bagaimana bidang studi bahasa Inggris menjadi mata pelajaran sejajar dengan bahasa Indonesia dll. Dari sisi tumpah darah; Batas Negara yang kini semakin merangsek ke dalam, kecintaan WNI akan kehidupan di luar negeri yang lebih menjanjikan dll.
Semangat Sumpah Pemuda sejatinya tidak hadir di kalangan kaum muda saja. Para pejabat, anggota DPR, pengusaha, tanpa memandang umur, harus memaknai ruh Sumpah Pemuda dengan benar. Harus disadari, penggunaan kalimat asing dalam perundangan, penggunaan KUHP sebagai produk luar, istilah asing dalam usaha, seharusnya segera menyesuaikan dan dicermati sebagai sesuatu yang bisa mengikis makna Sumpah Pemuda dan merubahnya dalam bentuk fakta.
Menyesuaikan diri di era globalisasi dan pasar bebas menuntut kesadaran akan hakikat makna Sumpah Pemuda. Bagi pemuda yang masih muda (dalam umur). Harus disadari, kesukaan terhadap artis Korea, jangan sampai mengikis kecintaan terhadap produk dan karya anak bangsa. Murahnya buah dari luar, jangan sampai mengubur kecintaan terhadap buah lokal. Bahasa alay tidak dilarang, namun jangan sampai menjadi penyebab hasil Ujian Nasional paling rendah ternyata bidang studi bahasa Indonesia, dan beberapa hal lain terkait kaum muda.
Dengan semangat Sumpah Pemuda, makna persatuan harus terjaga dalam bingkai akhlak dan keluhuran budi khas bangsa. Bangasa Indonesia punya budaya sendiri, budaya melayu, adat ketimuran dan sesuai dengan norma agama. Makna Sumpah Pemuda jangan sampai hadir hanya dalam persepsi, makna Sumpah Pemuda haruslah selaras dengan fakta. Rasa berbangsa satu, berbahasa satu, bertumpah darah satu, harus selalu terjaga, dan menjadi mindset pemuda dalam bertingkah laku. Semoga.

Rabu, 08 Juli 2015

IDEOLOGI PANCASILA SYARAT MUTLAK UNTUK MENJADI MANUSIA INDONESIA SEUTUHNYA

Menggala, 08 Juli  2015
IDEOLOGI PANCASILA
SYARAT MUTLAK UNTUK MENJADI MANUSIA INDONESIA SEUTUHNYA

Sejak bergulirnya era reformasi 1998 hingga saat ini, kehidupan bangsa Indonesia semakin jauh dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam falsafah kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia. Semangat reformasi telah membawa bangsa kita terhempas dari tujuan kemerdekaan Indonesia, terlebih lagi diera reformasi, otonomi daerah, demokrasi dan Hak Asasi Manusia saat ini kehidupan bangsa terkesan jauh dari nilai-nilai moral yang terkandung dalam tiap-tiap butir Pancasila.
Diakui atau tidak, amandemen Undang Undang Dasar 1945 telah memberikan nafas untuk hidupnya neo_ kapitalisme, imperialisme, feodalisme dan liberalisme diseluruh lini kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) lebih diutamakan, sedangkan kewajiban sebagai bangsa terkesan diabaikan. Semangat ke-Bhineka-an kian hari kian pudar dalam hati sanubari bangsa Indonesia, hal ini sepertinya ada kesalahan dalam sistem tatanan hukum, sehingga menyebabkan tiap-tiap manusia Indonesia memiliki sifat individualistik yang berujung pada adanya perilaku menyimpang dibeberapa kalangan penyelenggara Negara dari pusat hingga daerah, antara lain maraknya praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).
Sebelum reformasi, Pancasila menjadi landasan Idiil untuk mempererat rasa nasionalisme Indonesia yang diperkuat dengan adanya Ketetapan MPR Nomor : II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Pancasila sebagai Dasar Negara. Namun ketetapan MPR tersebut telah dicabut melalui Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 tantang Pencabutan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tersebut diatas (Kansil dkk. 2003:7).
Atas dasar uraian tersebut diatas, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip dasar Negara Pancasila yang menjadi landasan ideology kemerdekaan Indonesia, maka sebagai anak bangsa tentunya tidaklah terlalu berlebihan jika saling mengingatkan akan pentingnya kesadaran nasionalisme Indonesia. Semangat Nasionalisme Indonesia hanya dapat diwujudkan dengan memperkuat keteguhan kita sebagai bangsa pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam tiap-tiap butir Pancasila. Kita tidak akan pernah menjadi manusia Indonesia seutuhnya jika kita tidak berpegang teguh pada prinsi-prinsip dasar Pancasila. Adapun prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam tiap-tiap butir Pancasila yang harus tertanam dalam hati sanubari tiap-tiap individu manusia Indonesia dalam bentuk Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yaitu :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama dari Pancasila, berisi tentang prinsip dasar Ketuhanan, dimaksudkan agar tiap-tiap manusia Indonesia memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta, dengan kata lain manusia Indonesia harus ber-Tuhan. Oleh karena itu, segala macam bentuk paham (isme) yang bersifat atheisme (tidak ber-Tuhan) harus dilenyapkan dari bumi Indonesia tanpa terkecuali. Artinya tidak ada toleransi atau dalil apapun (termasuk HAM) yang memberi peluang untuk tumbuhnya paham-paham yang bertentangan dengan prinsip sila pertama Pancasila.


2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Pada butir kedua yaitu, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab memiliki makna bahwa manusia Indonesia sebagai salah satu mahluk yang diciptakan oleh Tuhan dan sekaligus merupakan mahluk social (zoonpoliticon) yang berbeda dengan mahluk lainnya. Perbedaan itu disebabkan karena segala tindakan manusia selalu dipengaruhi oleh rasa dan rasio. Dengan adanya Rasa dan Rasio, maka manusia Indonesia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana hak dan mana kewajiban. Dengan demikian tiap-tiap diri manusia Indonesia harus memiliki sifat kemanusiaan yang berlandaskan pada rasa adil dan beradab, bukan sebaliknya (kemanusiaan yang tidak adil dan biadab).

3. Persatuan Indonesia
Sila ketiga Persatuan Indonesia sangat erat hubunganya dengan sila kedua yang berisi tentang kemanusiaan sebagai mahluk social. Dalam kehidupan sehari-hari, tiap-tiap individu tentunya saling membutuhkan satu dengan lainnya. Selanjutnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tentunya harus tertanam rasa persatuan dan kesatuan serta rasa senasib dan sepenanggungan. Glora dan semangat kemerdekaan sangat membutuhkan Persatuan.

Pada hakikatnya, Persatuan Indonesia bersifat luas, dalam arti kata bahwa Persatuan Indonesia tentunya yang menyangkut tentang keberlangsungan prikehidupan bangsa dan Negara, dengan demikian Persatuan Indonesia sangat mutlak diperlukan untuk menghadapi segala macam bentuk ancaman, tantangan maupun gangguan yang datang baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Sila Persatuan Indonesia merupakan butir yang mempererat hubungan antar suku ditiap-tiap daerah diseluruh penjuru tanah air Indonesia, yang berlandaskan pada semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 maupun semangat Bhineka Tunggal Ika. Selain itu, Persatuan Indonesia juga ditujukan untuk menumbuh kembangkan semangat nasionalisme ke-Indonesia-an pada tiap-tiap pribadi manusia Indonesia dimanapun dia berada.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Sila keempat dari Pancasila tentunya lebih menjurus pada sistem tata hukum dan kebijakan (sistem politik) yang dijalankan oleh penyelenggara Negara untuk mengatur dan mengurus peri kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Sila keempat tentunya mengatur tentang hubungan antara rakyat dan pemerintah, dalam hal ini sistem yang dijalankan adalah sistem kedaulatan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Demokrasi ala Pancasila), dengan tetap mengedepankan dasar-dasar permusyawaratan dan perwakilan.


5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
Sila kelima Pancasila merupakan tujuan dari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia memuat tentang bagaimana tiap-tiap manusia Indonesia dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya sehari-hari, yang berupa kebutuhan sandang, pangan dan papan. Selanjutnya untuk menjamin keadilan social tersebut, maka Negara melalui para penyelenggara Negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Sila pertama merupakan sila yang mengatur tentang hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablumminallah), sedangkan sila kedua mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia (Hablumminannnnas). Oleh karena itu sila pertama dan sila kedua Pancasila bertujuan untuk membentuk kepribadian tiap-tiap individu manusia Indonesia. Apabila sila pertama dan kedua Pancasila telah terpenuhi, maka sila ketiga merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk menjadi manusia Indonesia.
Selanjutnya untuk menjadi manusia Indonesia seutuhnya, maka kita harus dapat membedakan mana hak dan mana kewajiban. Dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, kita belum bisa membedakan hak dan kewajiban jika belum ada aturan hukumnya. Oleh karena itu sila keempat merupakan sila yang mengatur tentang sistem hukum dan sistem politik bernegara. Sedangkan sila kelima merupakan tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia yang harus dicapai bersama-sama antara rakyat dan pemerintah. Adapun tujuan itu adalah kemakmuran dalam keadilan dan keadilan dalam kemakmuran. Demikian, mulai saat ini kita harus S A D A R bahwa Ideologi Pancasila merupakan Syarat Mutlak Untuk Menjadi Manusia Indonesia Seutuhnya.

Lampung, 06 Juli 2015
Oleh : Satria Ali, S.H.

Red : Hendra HAmdani, SP


Jumat, 14 November 2014

MENGGALI SISTEM POLITIK DAN HUKUM PEMERINTAHAN ADAT MARGA



MENGGALI SISTEM POLITIK DAN HUKUM PEMERINTAHAN ADAT MARGA
(Oleh : Satria Ali, Aktivis dan Penggiat SistemPolitik Adat dan Hukum Adat Tulang Bawang)


Marga berasal dari bahasa Tionghoa yang terdiridari dua suku kata yaitu xing dan shi yang membentuk kata Marga. Namunseiring bertambah kompleksnya struktur sosial masyarakat Tionghoa, maka sebutanXing merujuk pada Marga, sedangkan Shi merujuk kepadaClan. Adapun sejarah Marga di dalam kebudayaan Tionghoa bermula dari 5000hingga 8000 tahun yang lalu sewaktu masyarakat Tionghoa masih bersifatmatrilineal, yang mana pada masa itu, Marga diwariskan dari garis ibu. (id.wikwpwdia.org.wiki/Marga_Tionghoa)
Dalamsistem pemerintahan adat kekerabatan di Lampung dipegang oleh keluarga-keluargadari kebuwayan (keturunan) yang ditarikdari garis keturunan laki-laki (patrilineal). Kesatuan-kesatuan keluarga (menyanak) secara umum berpusat pada suatubangunan rumah tua yangdisebut NuwowBalak atau Lamban Balak (rumahbesar) yang berada dalam suatu Kampung yang disebut Tiyuh, Anek atau Pekon.Sedangkan di dalam Tiyuh, Anek maupun Pekon terdiri dari beberapa Suku (Clan),artinya Tiyuh, Anek dan Pekon merupakan gabungan berbagai suku (clan) yangmasih memiliki pertalian buway. Selanjutnya beberapa Tiyuh bergabung menjadisatu kesatuan daerah tritorial yang disebut “MARGA” . Secara garis besar, jikanama Marga tersebut menggunakan nama poyang asalnya, berarti Marga tersebutdidominasi oleh keturunan poyang asalnya, seperti sebutan Marga Buay Bulan,berarti Marga tersebut didominasi oleh keturunan Bulan (Putri Bulan).
Pada tahun 1857 pemerintah Belandamengakui kedudukan pemerintahan adat kebuwayan dengan masing-masing Punyimbangatau Saibatinnya. Selanjutnya pada tahun 1928 pemerintah menetapkan batas-batasMarga Tritorial, dengan menunjuk atau memilih Kepala Marga (Pasirah Marga)masing-masing berdasarkan Peraturan Marga Regment tahun 1939, dalam rangkapelaksanaan Inlandsche GemeenteOrdonnanntei Buitengewesten (IGOB) S. 1938 no. 490, yang ditetapkan ResidenLampung tanggal 21 Juli 1939 no. 536. Menurut peraturan tersebut, Kepala Marga melaksanakan pemerintahanMarganya di dampingi Dewan Marga yang anggota-anggotanya terdiri dari paraPunyimbang. Masing-masing Marga merupakan kesatuan Kampung (Tiyuh, Pekon) dan bagian Kampung (Suku) termasuk umbulan yang terletak di daerah peladangan dalamlingkungan hak ulayat tanah marga bersangkutan. Sistem pemerintahan Marga yangbersifat tritorial berlaku sampai tahun 1952, dan sejak itu berlaku sistempemerintahan Negeri (Minangkabau) hingga tahun 1970, kemudian sejak tahun 1970sampai sekarang bentuk pemerintahan Marga atau pun Negeri sudah tidak ada lagi,maka pemerintahan umum dilaksanakan oleh para Camat yang mebawahi Kepala-kepalaKampung, sedangkan pemerintahan adat kekerabatan kembali semata-mata menjadiurusan para Punyimbang Adat menurut Marga Adatnya masing-masing. (Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu HukumAdat Indonesia, hal : 126-127)
Seorang pemimpin dalam kekerabatanmasyarakat Lampung disebut Punyimbang, yang dibangun dari dua suku kata yaitu Pun dan Nyimbang. “Pun” merupakan sebutan bagi Dewa Tertinggi dalam konsepTrimurti yaitu Dewa Brahma, sedangkan “Nyimbang” berarti meniru. Secara bahasa,kata Punyimbang berarti meniru segala tingkah laku dewa Pun. (Achjarani Alf.,Ngeberengoh : 1954)
Adapun sistem Pemerintahan adat kebuwayanpada masyarakat Lampung Pepadun terdiri dari tiga sistem kekuasaan, yaituPemerintahan Marga dipimpin oleh seorang Kepala Marga (Pasirah), PemerintahanTiyuh dipimpin oleh seorang Kepala Tiyuh, dan Pemerintahan Suku dipimpin olehseorang Kepala Suku. Pemerintahan Marga merupakan Pemerintahan tertinggi dalamsistem kekuasaan politik masyarakat hukum adat Lampung Pepadun. Marga merupakankesatuan Kampung (Tiyuh, Pekon) danbagian Kampung (Suku) termasukumbulan yang terletak di daerah peladangan dalam lingkungan hak ulayat tanahmarga bersangkutan. Sedangkan Pemerintahan Tiyuh, Anek maupun Pekon merupakankesatuan berbagai Suku (clan) yang berada dalam suatu wilayah hak ulayat Tiyuhbersangkutan.
Selanjutnya pemerintahan Suku merupakansistem kekuasaan terendah yang mengatur langsung clan (keluarga/menyanak) darimasing-masing suku yang ada dalam ruang lingkup Tiyuh, Anek maupun Pekon. Sukumerupakan inti dari adat kebuwayan/keturunan (clan). Dalam pemerintahan Suku, seorangKepala Suku sudah selayaknya memiliki tanggung jawab penuh untuk membuat aturantersendiri yang harus dijalankan secara khusus oleh masing-masing individu yangberada dalam Suku (clan) tersebut, sebab seorang individu dalam Suku tertentumemiliki tanggung jawab moral untuk menjaga dan menjunjung tinggi kehormatanSukunya dalam kehidupan sosial masyarakat adat setempat. Adapun nilai-nilaimoral yang merupakan norma adat yang harus tetap dipegang teguh oleh setiapindividu Lampung adalah apa yang disebut “Piil”.Apabila norma adat itu tidak dipegang teguh, maka pribadi itu akan menjadipribadi yang tidak tau malu dan tidak beradab dan perlu diberi sanksi adat baikitu sanksi moral maupun sanksi pidana adat.
Pada hakikatnya tiga (3) sistempemerintahan adat kebuwayan tersebut diatas dilambangkan dengan adanya warna ragamhias Payung Agung, yaitu Payung Agung berwarna Merah melambangkan adanyapemerintahan Suku dengan nilai adatnya enam (6), Payung Agung berwarna Kuningmelambangkan adanya pemerintahan Tiyuh dengan nilai adatnya Dua Belas (12),sedangkan Payung Agung berwarna Putih melambangkan adanya pemerintahan Margadengan nilai adatnya Dua Puluh Empat (24). Apabila kita lihat melalui optikhukum, maka nilai adat tersebut menandakan bahwa secara hukum masyarakatLampung Pepadun tidak mengenal adanya persamaan dalam menerapkan sanksi pidanaadat, artinya semakin tinggi kedudukan seseorang dalam sistem ke-Punyimbang-an(pemimpin clan), maka semakin tinggi pula ancaman hukumannya. Oleh karena ituseorang Punyimbang tentunya memiliki tanggung jawab yang penuh dalam mengayomikerabat dan sanak familinya, agar tetap tunduk dan patuh pada norma-norma  sosial yang telah disepakati, baik itu aturanyang bersifat tertulis maupun aturan yang tidak tertulis sekalipun.
Adanya perbedaan dalam pemberian sanksiadat sangatlah penting, sebab kedudukan seseorang tentunya memiliki tanggungjawab untuk memberikan keteladanan yang baik kepada orang lain, khususnyakepada mereka yang berada dalam ruang lingkup kekerabatan/menyanak (Suku, Clan)tertentu. Sebagai contoh adanya Piil Pesenggiri yang merupakan warisan budayayang sekaligus merupakan kaidah dan petunjuk hidup yang harus dijalankan olehsetiap pribadi orang Lampung. Dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Moh.SalehDjindang,S.H. menguraikan tentang Petunjuk hidup yang biasanya disebut kaidahatau norma, terdapat dalam hukum, kebiasaan, adat-istiadat, agama dankesusilaan. Oleh karena masyarakat justru memerlukan petunjuk hidup, makapetunjuk hidup itu menjadi gejala sosial, yakni suatu gejala yang terdapatdalam masyarakat. Selain itu diuraikan juga definisi R.H. Lowie tentangkebudayaan yang secara garis besar disimpulkan bahwa hukum menjadi aspek darikebudayaan, dan sebagai anasir kebudayaan maka hukum juga memperlihatkan sifatdan corak kebudayaan yang bersangkutan. (E.Utrecht/Moh.Saleh Djindang, S.H.1982:2-3)
Atas dasar penjelasan dan uraian tersebutdiatas, serta melihat perkembangan sistem politik masyarakat adat maupun sistemtata hukum adat saat ini, tentunya telah mengalami pergeseran nilai dan norma-norma,sebab aturan adat yang ada saat ini tidak senafas dengan Pancasila karenaaturan adat itu dipengaruhi oleh nafas-nafas kolonial. Untuk itu perlu kita sebagaianak yang lahir dalam kandungan adat meluruskan, mengoreksi dan membenahi sistempolitik adat yang ada saat ini, khususnya dalam kesatuan masyarakat hukum adatMegou Pak Tulang Bawang. Adapun Megou Pak Tulang Bawang berdiri pada tahun 1914yang terdiri dari Marga Suway Umpu, Marga Buway Bulan, Marga Tegamo’an danMarga Aji. Oleh karena Megou Pak Tulang Bawang merupakan federasi, maka masing-masingMarga tentunya memiliki seorang pemimpin yang disebut Pasirah Marga atau KepalaMarga, artinya secara politis, federasi Megow Pak Tulang Bawang tidak beradaditangan seorang pemimpinan atau yang saat ini dikenal dengan sebutan “KetuaLembaga Adat Megou Pak Tulang Bawang”, akan tetapi masing-masing Marga memilikiseorang pemimpin yang dipilih secara demokratis dengan syarat-syarat tertentu.Hal ini cukup dimengerti bahwa sistem Pemerintahan Marga merupakan sistemkekuasaan politik yang bersifat demokratis.
Meskipun secara politis federasi MegouPak Tulang Bawang tidak berada pada tampuk pimpinan yang bersifat tunggaldibawah kekuasaan seorang Ketua Lembaga Adat Megou Pak Tulang Bawang, keadaanitu tidaklah sama halnya dengan sistem hukum adatnya, yang mana setiap PasirahMarga menjalankan sistem Pemerintahan berdasarkan tata hukum adat Megou PakTulang Bawang yang dikodifikasi pada tahun 1910/1913. Inilah yang menjadikeunikan sistem politik adat dan hukum adat Lampung Pepadun, khususnyamasyarakat Hukum Adat Megou Pak Tulang Bawang, sehingga merupakan suatu kearifandemokrasi yang sangat murni dalam kehidupan adat Lampung, sebab posisi hukumberada pada kedudukan yang sangat istimewa. Artinya meskipun Pimpinan Megou PakTulang Bawang berada di tangan empat orang pemimpin, namun peraturan hukumnyahanya satu yaitu Peraturan Adat Megou Pak Tulang Bawang 1910/1913 yang bersifattunggal, sebab hukum adat dimaksud merupakan kodifikasi hasil kesepakatanbersama dari empat marga yang ada.
Dalam perkembangan sistem tata hukumnegara pasca reformasi dan otonomi daerah, kedudukan masyarakat hukum adatdiakui dan dihormati selaras dengan perkembangan zaman (Pasal 18B UUD 1945).Oleh sebab itu perlu kita membenahi sistem politik adat dan sistem hukum adat,agar masyarakat hukum adat tidak menjadi objek kepentingan politik olehoknum-oknum tertentu. Saat ini adat hanya menjadi suatu selogan belaka tanpaadanya fakta dan kinerja nyata untuk melibatkan masyarakat hukum adat dalamkancah politik di daerahnya. Padahal masyarakat hukum adat dalam kehidupanberbangsa dan bernegara juga merupakan subjek hukum yang harus dihormati,sehingga dalam Undang Undang tentang Desa yang telah disahkan pada Desember2013, Pemerintah memandang perlu untuk melibatkan masyarakat hukum adat dalamkancah perpolitikan ditingkat Desa. Sehingga sangatlah urgen untuk membenahisistem pemerintahan adat yang ada disetiap daerah diseluruh penjuru tanah airIndonesia, terkhusus diwilayah Lampung.
Rasionalnya adalah bagaimana masyarakathukum adat dapat berperan aktif dalam perpolitikan di daerah jika tidak adasistem hirarki pemerintahan adat yang dapat dijadikan landasan dalam rangkamewujudkan otonomi masyarakat hukum adat. Sebagai contoh, banyak sekali adanyapelanggaran-pelanggaran adat yang tidak diselesaikan dengan aturan adat, sebabdalam sistem politik masyarakat hukum adat saat ini sama sekali tidak kitajumpai adanya badan peradilan adat yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa masalahadat, maupun pelanggaran adat yang terjadi dalam internal masyarakat hukumadat.
Oleh sebab itu sebagai generasi muda, tentunya memandang perlu untukmemberikan suatu sumbangsih pemikiran tentang bagaimana mewujudkan otonomimasyarakat hukum adat yang secara hukum dapat diakui dan di implementasikansecara nyata dalam sistem negara hukum yang demokratis atas dasar Pancasila danUUD 1945. Secara yuridis, masyarakat hukum adat Megou Pak Tulang Bawang telahdiakui keberadaannya baik sebelum republik maupun setelah republik. Sehinggatidaklah elok jika keberadaan federasi Megou Pak Tulang Bawang disejajarkandengan keberadaan organisasi-organisasi kemasyarakatan biasa.

Saat ini fakta menyebutkan bahwa pada era otonomi daerah, federasiMegou Pak Tulang Bawang telah menjadi komoditi politik oleh oknum-oknumtertentu guna mendekatkan diri pada pusat kekuasaan daerah. Sebab secara umumseorang Raja (penguasa) lebih mengutamakan orang-orang yang dekat kepadanya, daripada orang yang bijaksana tetapi belum dikenalnya. Seperti halnya pohon anggur,mana yang dekat padanya itulah yang dijalarinya, sekalipun pohon itu bukantermasuk pohon yang mulia (Hikayat Kalilah dan Dimnah). Keadaan inilah yangterjadi selama ini, sebab Masyarakat Hukum Adat sering bergantung padapenyusunan keputusan politik yang mempengaruhi kehidupan mereka. Dalam makalahyang berjudul Perluasan Partisipasi Politik Rakyat, sebuah ajakan MenujuTatanan Negara yang Membumi, dua hal penting yang sering tidak dimilikikalangan adat untuk memperbaiki kehidupan. Pertama, kondisi ini merupakankonsekwensi logis konsep negara moderen yang diterapkan di Indonesia. Kedua,berdasarkan prinsip demokrasi tidak langsung, sebagai hasil “kemalasan” dan“kebodohan”, serta menyerahnya kesadaran terhadap hegemoni konsep demokrasiBarat. Dalam hal kedua ini, fungsikelompok marginal cuma sekedar menjadi kayu api bagi segelintir elite.(Lampung Post, 12 Januari 2002, R.Yando Zakaria (Praktisi Antropolog padaInstitut for Sosial Transpormation/Insist Yogyakarta)

Untuk itu perlu adanya dukungan penuhdari pemerintah, terkhusus Pemerintah Daerah  Kabupaten Tulang Bawang dan Kabupaten TulangBawang Barat, untuk bekerjasama guna memfasilitasi dan memobilisasi segenaptokoh masyarakat hukum adat Megou Pak Tulang Bawang, bahkan para praktisi,akademisi atau pun para pakar politik dan pakar hukum adat, juga diharapkandapat melakukan pengkajian dan penelitian tentang hukum adat dalam rangkamenumbuh kembangkan sistem pemerintahan adat yang demokratis. Dalam hal inikami sangat antusias ketika menyimak paparan surat kabar online yang dipetikmelalui Saibumi.com pada Rabu, 11 Juni 2014, tentang “Pembangunan Kampung TuaJadi Prioritas”, menyebutkan antara lain “PemerintahTulang Bawang Barat memprioritaskan pembangunan Kampung-kampung Tua yang ada diKabupaen setempat, termasuk pelestarian tempat-tempat bersejarah yang berada diperkampungan pribumi”. Selanjutnya menurut Fauzi Hazan, Kepala BappedaSetda Kabupaten Tulang Bawang Barat, menguraikan bahwa “Pembangunan Kampung-kampung Tua tetap dilaksanakan, mulai daripembangunan sampai ke infrastruktur jalan jembatan”. Atas dasar penjelasanitu, maka kami sangat berterimakasih kepada segala pihak, khususnya kepadapihak Pemerintah Kabupaten yang sangat antusias memberikan perhatian penuhkepada perkampungan masyarakat pribumi, namun perlu juga kami menambahkankiranya prioritas pembangunan itu jangan hanya menekankan pada pembangunaninfrastruktur saja, akan tetapi yang lebih utama adalah pembangunan Sumber DayaManusia (SDM) masyarakat pribumi, sehingga diharapkan kedepan masyarakatpribumi lebih memiliki wawasan yang luas serta memiliki kemampuan untukbersaing dengan masyarakat luar. Pembangunan Sumber Daya Manusia tersebut dapatdiwujudkan melalui penataan sistem kelembagaan adatnya.
Selanjutnya perlu juga dibuat suatuperaturan khusus tentang siapa-siapa sosok yang berhak untuk menjadi KepalaMarga, yang tentunya disesuaikan dengan status Kepunyimbangan seseorang.Standarnya adalah untuk menduduki Jabatan Kepala Marga, Kepala Tiyuh maupunKepala Suku diperlukan sosok pribadi yang dianggap memiliki kecakapan,kejujuran, tegas, dan bertanggung jawab serta memiliki pemahaman terhadap hukumadat. Selain itu seorang Pimpinan Adat tersebut tentunya harus menyandang gelaradat tertinggi yang diakui dalam kesatuan masyarakat hukum adat Lampung Pepadunyang disebut “Suttan”. Adapunkedudukan seorang Kepala Marga tentunya sejajar dengan kedudukan Kepala DaerahKabupaten/Kota. Oleh sebab itu dalam mejalankan tugasnya, maka seorang KepalaMarga dibantu oleh Dewan Marga yang berasal dari para Punyimbang. Dewan Marga merupakanbadan legeslasi adat, memiliki tugas antara lain memilih seorang Kepala Margaberdasarkan aturan adat yang telah dispakati dalam sidang Dewan Marga.
Sistem politik pemerintahan adat margasebagaimana tersebut dalam uraian diatas tentunya tidak hanya di terapkan dalamsistem politik Pemerintahan Adat Megou Pak Tulang Bawang, akan tetapi tentunyadapat juga di implementasikan oleh seluruh Punyimbang Adat Lampung Pepadun(Abung Siwo Megou, Pubian-Telu Suku, Sungkai, dan Way Kanan), Mengingat MasyarakatLampung Pepadun dahulu terdiri dari Sembilan (9) Marga baik itu Marga yangbersifat Tritorial maupun Marga yang bersifat Geniologis. Sebab  “diLampung tidak pernah ditemukan bukti arkeologis yang menunjukkan bahwa pernahhadir suatu kekuatan politik berupa kerajaan”.Selanjutnya disebutkan bahwa “Berdasarkansumber sejarah dan tradisi lisan masyarakat, meskipun di Lampung tidakditemukan adanya kerajaan, namunterdapat bentuk-bentuk organisasi desa-desa yang sangat berkembang dengankeluarga-keluarga sebagai intinya. Orang tua-tua desa sebagai pengawas terhadapwilayah merupakan kepala-kepala yang patrimonial. Bentuk sistem organisasi inidikenal dengan Sistem Pemerintahan AdatMarga (Laporan Penelitian Arkeologi Balar Bandung, Pusat Peradaban diKabupaten Lampung Utara-Perkembangan Hunian dan Budaya 2012:159). Oleh karenitu, perlunya peran Pemerintah Propinsi Lampung dan menjadi PR PemerintahPropinsi, untuk mendukung dan memobilisasi upaya konsolidasi masyarakat hukumadat dalam rangka menumbuh kembangkan peran masyarakat hukum adat dalammengawal jalannya pembangunan di era demokrasi, otonomi daerah dan supremasihukum. Bahkan jika dimungkinkan, maka perlu juga diadakan pengkajian secaramendasar tetang pembentukan Desa Adat sesuai dengan apa yangtelah diatur dalam Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.

Catatan :
ü  KesatuanMasyarakat Hukum Adat Megou Pak Tulang Bawang, terdiri dari :
1.    MargaSuway Umpu
a.    Marga Suway Umpu Udik (Gunung Terang dan GunungAgung_Kab.TB.Barat)
b.    Marga Suway Umpu Ilir (Ujung Gunung Udik danUjung Gunung Ilir_Kab.Tulang Bawang)
2.    MargaBuway Bulan
a.    Marga Buway Bulan Udik (Karta, Gn. KatunTanjungan, Gn. Katun Malay dan Gedong Ratu_Kab.TB.Barat)
b.    Marga Buway Bulan Ilir (Menggala, Lingai, LebuhDalem dan Kibang_Kab.Tulang Bawang)
3.    MargaTegamo’an
AdapunMarga Tegamo’an umumnya berada di wilayah Kabupaten Tulang Bawang Barat, yaituKampung Pagar Dewa, Panaragan, Menggala Mas, Bandar Dewa dan Penumangan.
4.    MargaAji
Beradadi wilayah Gedong Aji Kabupaten Tulang Bawang.

ü  SecaraAdaministratif dalam wilayah Pemerintahan Kabupaten Tulang Bawang terdapat :
a.    Marga Suway Umpu Ilir (Ujung Gunung Udik danUjung Gunung Ilir_Kab.Tulang Bawang)
b.    Marga Buway Bulan Ilir (Menggala, Lingai, LebuhDalem dan Kibang_Kab.Tulang Bawang)
c.    Marga Aji, berada di wilayah Gedong AjiKabupaten Tulang Bawang.
d.    Marga Tegamo’an, berada di wilayah Mariksa(Meresow), Kampungnya dahulu berada diwilayah aliran Sungai Tulang Bawang,tepatnya berada disebelah udik Kampung Gedong Aji, namun sekarang penduduknya telahmenggabungkan diri dalam wilayah Menggala.

ü  Sedangkandalam wilayah Kabupaten Tulang Bawang Barat terdapat :
a.        Marga Suway Umpu Udik (Gunung Terang dan GunungAgung_Kab.TB.Barat)
b.        Marga Buway Bulan Udik (Karta, Gn. KatunTanjungan, Gn. Katun Malay dan Gedong Ratu_Kab.TB.Barat)
c.         Marga Tegamo’an
AdapunMarga Tegamo’an umumnya berada di wilayah Kabupaten Tulang Bawang Barat, yaituKampung Pagar Dewa, Panaragan, Menggala Mas, Bandar Dewa dan Penumangan.


 By cratif : Hendra Dkk