Keadaan
itu semakin tidak menguntungkan komunitas masyarakat hukum adat, sebab
sebagai contoh pertikaian konflik agraria antara pihak kapitalis (dalam
hal ini merupakan pihak perusahaan swasta) dengan pihak komunitas
masyarakat hukum adat (sebagai pengakuan adanya hak ulayat) tidak pernah
mendapatkan respon yang positif dari pihak pemerintah daerah, dalam
rangka melindungi dan menegakkan otoritas masyarakat hukum adat, yang
ada hanyalah janji-janji yang penuh dengan kepalsuan. Demokrasi yang
didengungkan itu hanyalah ditujukan guna melindungi hak-hak kapitalis
yang telah menggerogoti dan mengorbankan hak-hak masyarakat hukum adat
sebagai masyarakat marginal dalam tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Sejalan dengan hal tersebut diatas, bertalian dengan
adanya konflik kepentingan khususnya mengenai tampuk pimpinan
masyarakat hukum adat Megou Pak Tulang Bawang yang telah melahirkan
empat (4) pucuk pimpinan yang berbeda-beda secara geopolitik, adalah
karena ketidak pahaman beberapa unsur punyimbang adat dalam merespon
gerak laju perubahan politik dan hukum dinegeri ini, sebab sejak
hapusnya pemerintahan Marga di Lampung 1952 (Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia : 127) tidak pernah ada gugatan secara riil oleh para
Punyimbang Adat Marga dalam menanggapi hapusnya pemerintahan Marga di
Lampung.
Bahkan pernah diwacanakan adanya pemekaran Kabupaten
nama Panaragan (sekarang wilayah eks Kabupaten Tulang Bawang), yang
digagas oleh Lembaga Masyarakat Adat Panaragan serta dituangkan melalui
Keputusan Lembaga Adat pada 20 Juli 2005, dengan maksud agar Kabupaten
tersebut dilahirkan atas dasar Pasal 18B UUD1945, sehingga Kabupaten
tersebut merupakan Kabupaten yang berADAT, akan tetapi kenyataannya
adalah telah terjadi penyimpangan serta pelecehan keputusan Lembaga Adat
dimaksud oleh oknum-oknum tertentu, yang diataranya mungkin saat ini
telah menjabat sebagai pucuk pimpinan Ketua Lembaga Adat Megou Pak
Tulang Bawang. Untuk apa memegang pimpinan adat jika tidak ada komitmen
untuk mengangkat kembali citra masyarakat hukum adat dalam kancah
politik di negeri ini??
Otonomi yang didengungkan saat ini
hanyalah menguntungkan pihak-pihak birokrasi pemerintah daerah, pihak
kapitalis (Perusahaan Swasta), juga para elit politik yang memegang
peran sebagai pembuka keran otonomi daerah, sedangkan fungsi kelompok
marginal cuma sekedar menjadi kayu api bagi segelintir elite (R.Yando
Zakaria, Praktisi Antropolog pada Institut for Sosial
Transpormation/Insist Yogyakarta), dalam rangka menghidupkan bara api
otonomi. Bukankah pemberian otonomi daerah tentunya sejalan dengan
pemuliaan identitas budaya di masing-masing daerah di Indonesia, tapi
kenyataannya adalah jauh panggang dari api.
Sebaiknya Partai
Politik yang mencalonkan seorang kepala daerah yang berasal dari unsur
birokrasi pemerintah, tidak mendapatkan tempat dalam kehidupan
demokrasi, sebab secara rasional Kepala Daerah adalah jabatan yang
bersifat Politis, yang tentunya seorang politisilah yang pantas untuk
menduduki jabatan dimaksud, sebab jika seorang birokrat menduduki
jabatan yang bersifat politis, maka sudah barang tentu dia tidak akan
mengaspirasikan suara masyarakat sipil (masyarakat adat), melainkan
hanyalah kepentingan birokrasinya saja yang lebih diutamakannya. Coba
dilihat secara arif dan bijaksana sudah berapakah kader Partai Politik
murni yang menduduki jabatan kepala daerah se-Kabupaten di Lampung ini.
Untuk itu perlu kita sebagai sanak Punyimbang kembali berinstropeksi
diri serta sadar (NGEBERENGOH), bahwa dalam era globalisasi saat ini
penuh dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi, sehingga kearifan
budaya lokal khususnya budaya Lampung dapat terus berkembang secara
berkesinambungan dalam rangka menjawab tantangan zaman yang terus
berkembang secara berkelanjutan. Bukankah demokrasi merupakan syarat
yang diperlukan melindungi masyarakat adat (Sarwono Kusuma Atmadja,
Mantan Menteri Negara dan Pemberdayaan Aparatur Negara).
.
Sebaiknya para Punyimbang adat Lampung NGEBERENGOH, dan kembali pada
tatanan musyawarah adat secara bulat dan utuh guna mewujudkan konsensus
politik adat, sehingga diharapkan kedepan masyarakat hukum adat dapat
berperan secara aktif dalam kancah politik di daerah. Bukan punyimbang
yang hebat yang kita perlukan, bukan pula punyimbang yang gagah yang
kita perlukan, bukan kampung yang tua, yang kita butuhkan, bukan pula
kampung yang eks kerajaan, penuh dengan kemistikan yang kita butuhkan,
akan tetapi komitmen untuk mengembalikan sistem pemerintahan Marga di
Lampung adalah hal yang sangat krusial untuk kita dengungkan bersama
secara utuh dan menyeluruh jak ujung Danau Ranau teliyew mit Way Kanan
sampai Pantai Laut Jawa, atau bahkan dari Ranau hingga ke Teladas, dari
Palas Hingga ke Bengkunat, bersatu padu mendengungkan kembalinya sistem
Pemerintahan Marga di Lampung melalui UUD 1945 Pasal 18B berikut
penjelasannya yang tetap menuangkan adanya kata Marga. Dengan demikian,
upaya mewujudkan otonomi masyarakat adat niscaya dan harus memasuki
arena politik, yang berpusat pada perubahan kebijakan pemerintah daerah
dan pemerintah pusat dan secara bersama-sama dilakukan penataan ulang
hubungan antara pemerintah (melalui kebijakan) dan komunitas-komunitas
adat, penguasaan atas wilayahnya, kelembagaan adatnya, dan hukum adat
beserta perangkatnya (Noer Fauzi, Konsorsium untuk Pembangunan Agraria
Bandung).
Secara historis, Lampung juga mengenal adanya konsep
dewa trimurti, hanya saja konsep itu berbeda dalam penyebutannya. Adapun
konsep trimurti masyarakat Lampung yaitu Dewa Pun (Dewa Brahma), Dewa
Hung (Dewa Wisnu) dan Dewa Duguk (Dewa Siwa), oleh karena itu seorang
pemimpin masyarakat Lampung disebut Punyimbang. Punyimbang tentunya
adalah sosok yang sangat dihormati dan disegani di kalangan komunitas
masyarakat hukum adat secara geniologis, sebab, kata Punyimbang berasal
dari dua suku kata, yaitu “Pun” dan “Nyimbang”, Pun berarti Dewa
tertinggi dalam konsep trimurti (dewa Brahma) Lampung, sedangkan kata
Nyimbang berarti meniru. Secara bahasa Punyimbang berarti meniru segala
tingkah laku dewa (Achjarani Alf.). Bagaimana kelompok masyarakat hukum
adat itu mau tunduk kepada Punyimbangnya, sedangkan punyimbangnya tidak
dapat dijadikan panutan sebagai halnya Dewa Pun (Dewa Brahma). Untuk itu
kembali kita pada pokok persolaan, dimanakah para Punyimbang Adat itu
ketika sistem Pemerintahan Marga di Lampung hapus secara terselubung.
Adapun sistem pemerintahan adat Lampung telah terorganisir secara baik,
hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tiga (3) warna Payung Agung
yaitu Putih melambangkan Pemerintahan Marga dengan nilai adatnya dua
puluh empat (24), Payung Agung berwarna Kuning melambangkan Pemerintahan
Tiyuh dengan nilai adatnya dua belas (12), sedangkan Payung Agung
berwarna merah melambangkan adanya Pemerintahan Suku dengan nilai
adatnya enam (6). Nilai adat secara hukum dapat diartikan bahwa
masyarakat hukum adat Lampung tidak mengenal adanya persamaan dalam
hukuman, sebab besar kemungkinan jika seorang Punyimbang Adat Lampung
berpangkat Marga melakukan tindak pidana, maka hukumannya tentu lebih
tinggi dari pada Punyimbang Tiyuh atau Suku. Setidaknya jika diterapkan
dalam sistem hukum di negeri ini, berarti juga ketika seorang pejabat
melakukan tindak pidana, maka hukumannya lebih berat daripada masyarakat
biasa.
Untuk itu perlunya persatuan dan kesatuan komunitas
masyarakat hukum adat guna menegakkan otonomi masyarakat hukum adat,
sehingga masyarakat hukum adat dapat terlibat secara langsung dalam
menata kehidupan politik di negeri ini, terkhusus menata daerah dalam
rangka mengisi pembangunan daerah yang sejalan dengan otonomi daerah,
serta tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa melalui empat pilar
kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
0 komentar:
Posting Komentar