Definition List

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 21 November 2013

Fakta Mitos Usus Buntu

Klikdokter.com - Usus buntu (umbai cacing) adalah sebuah organ yang bentuknya menyerupai cacing, dan merupakan perpanjangan dari sekum (bagian dari usus besar). Panjang dari usus buntu biasanya sekitar 8-10 cm namun dapat bervariasi dari 2 hingga 20 cm.
Apendisitis (radang usus buntu) merupakan sebuah prosses peradangan yang terjadi pada lapisan dalam dari apendiks (usus buntu), yang menyebar hingga ke area disekitarnya. Peradangan pada daerah ini menyebabkan rasa nyeri yang luar biasa dan dapat menyebabkan kematian jika terlambat mencari pertolongan.
Beberapa mitos yang sering terdengar mengenai apendisitis misalnya:


  1. MITOS: Makan jambu biji, atau cabai dapat menyebabkan terjadinya radang usus buntu.
FAKTA: SALAH.
Seorang rekan spesialis bedah yang sudah lebih dari sering melakukan apendectomi (operasi pengangkatan usus buntu) tidak pernah menemukan sebutir biji jambu maupun biji cabai. 


  1. MITOS: Lari setelah makan menyebabkan usus buntu.
FAKTA: SALAH.
Sama sekali tidak ada hubungannya. Sebenarnya, secara medis radang usus buntu ini terjadi karena adanya sumbatan pada lumen usus. Penyumbatan ini menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan didalam lumen usus, sumbatan ini yang menyebabkan sekresi cairan usus menumpuk dan dimanfaatkan oleh bakteri-bakteri dalam usus yang bertumbuh subur. Bakteri ini mengaktifasi pertahanan tubuh melalui sel darah putih, maka terbentuklah pus (nanah) yang  membuat tekanan didalam usus semakin tinggi.
 

  1. MITOS: Usus buntu adalah salah satu organ yang tidak memiliki fungsi
FAKTA: SALAH.
Prof, Loren G. Martin dari Oklahoma State University, berpendapat bahwa usus buntu memiliki dwifungsi pada manusia, yakni:
·         Ketika manusia berupa janin di kandungan ibu
Pada usia janin 11 minggu, apendiks mengambil peran penting dalam proses mekanisme kontrol biologis. Dimana apendiks mengambil kendali dalam proses ketahanan atau mekanisme pengaturan lingkungan keseimbangan yang dinamis secara konsisten. Dimana Martin dalam penelitiannya berhasil membuktikan bahwa ditemukan sel endokrin pada janin yang berusia 11 minggu.
  ·         Ketika manusia berusia dewasa
Sementara pada tubuh manusia berusia dewasa, apendiks memiliki fungsi sebagai organ limfatik. Dalam penelitiannya pula Martin menemukan bahwa apendiks memiliki kandungan sel limfoid yang mengindikasikan kuatnya kemungkinan apendiks mengambil peran dalam mekanisme sistem imun manusia.
 
Setelah mengetahui penyebab dari penyakit berbahaya ini, tentunya sekarang pikiran kita jadi semakin terbuka bukan? Bagi Anda yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai topik ini, silakan ajukan pertanyaan Anda di fitur Tanya Dokter Klikdokter.com di laman website kami.[](AK)

Oleh: dr. Adithia Kwee

Rabu, 20 November 2013

KOTA LAMA MENGGALA, TULANG BAWANG (Satu Pusat Perdagangan di Lampung Pada Abad XVIII – XIX)

LEMBARAN MASA LALU 
Menggala merupakan satu-satunya kota yang berada di tepian Way Tulang Bawang, Lampung. Di daerah Menggala, Way Tulang Bawang mengalir dari arah barat kemudian berbelok ke selatan selanjutnya ke timur terus ke utara. Pemukiman berada di tepi sungai sebelah selatan dan timur. Secara geografis berada pada posisi 4°27’ - 4°29’ LS dan 105°13’ - 105°16’ BT (berdasarkan peta topografi daerah Menggala lembar 29). Berdasarkan UU No. 2 Th. 1997 tentang Pembentukan Kabupaten Dati II Tulang Bawang dan Tanggamus, secara resmi Menggala dinyatakan sebagai ibukota Kabupaten Tulang Bawang (Troe, 1997: 16-17). Cukup beralasan menjadikan Menggala sebagai ibukota Kabupaten Tulang Bawang. Dari segi fisik kota ini sudah dilengkapi berbagai sarana kebutuhan masyarakat kota. Dari sisi historis peranan kota ini dalam berbagai jaringan hubungan baik regional maupun nasional sudah berlangsung sejak zaman Sriwijaya hingga Banten. 

Kapan Menggala terbentuk memang susah ditelusurinya. Hal ini karena sumber sejarah secara tertulis belum ditemukan. Berdasarkan sejarah lisan, masyarakat yang menempati kota Menggala pada awalnya adalah keturunan Minak Sengecang yang semula bermukim di Lengak, Bujung Menggala, Kampung Gunung Katon, Kecamatan Tulang Bawang Udik. Masyarakat Lengak kemudian pindah ke hilir di Rantau Tejang – Menggala sekarang. Di sini nama kampungnya mengalami perubahan bunyi menjadi Lingai. Perkembangan selanjutnya di sekitar Lingai terbentuk kampung Kibang, dan Lebuh Dalem.[1] Tiga kampung inilah yang menurut salah satu versi sejarah lisan dipercaya sebagai kampung-kampung tua di Menggala.[2] 

Perkembangan pemukiman di Rantau Tejang berlangsung terus. Pendatang dari berbagai daerah ada yang menetap dan mendirikan perkampungan baru. Di Kampung Ujunggunung Ilir – terletak di sebelah selatan Menggala dengan jarak lurus sekitar 8,5 km – terdapat situs pemukiman umbul Lekau yang termasuk di dalam wilayah tiuh Toho (Kampung Tua). Di situs ini terdapat makam Minak Ngegulung. Pada jaman Belanda, masyarakat kampung pindah ke Menggala dan menetap di Kampung Ujunggunung Udik. Masyarakat yang datang dan menetap di Menggala tidak hanya dari sekitar Menggala. Di sini terdapat koloni masyarakat Bugis dan Palembang yang juga mendirikan perkampungan. Di Ujunggunung Udik terdapat makam Minak Sengaji. Menurut keterangan Bp. H. Ahmad Muzani (70-an tahun) yang merupakan keturunan ke-27, Minak Sengaji adalah pendiri kota Menggala.[3] Prof. H. Hilman Hadikusuma (1989: 47) mensinyalir bahwa Minak Sengaji merupakan pembawa Islam di Menggala. 

Catatan sejarah dari berbagai sumber ada yang menyebut tentang Tulang Bawang. Catatan ini tentunya berkaitan erat dengan Menggala. Catatan Tomé Pires (1512 – 1515), menyebutkan bahwa di Jawa Barat pernah berdiri suatu kerajaan yang disebut regño de Çumda atau kerajaan Sunda. Kerajaan ini mempunyai beberapa pelabuhan dagang di sepanjang pantai utara. Hubungan dagang kerajaan Sunda tidak hanya bersifat lokal tetapi sampai tingkat regional bahkan internasional. Beberapa barang dagangan dari Tulang Bawang seperti lada masuk ke Jawa melalui pelabuhan Cheguide (Cortesão, 1967: 171). Dalam catatan ini jelas-jelas tersurat bahwa antara Sunda dan Tulang Bawang pernah menjalin hubungan dagang terutama lada. Pada suatu masa Kerajaan Sunda mengalami kemunduran. Kedudukan dan peranan Kerajaan Sunda kemudian digantikan Banten. 

Ketika Banten diperintah oleh Sultan Hasanuddin, wilayah kekuasaannya hingga Lampung dan daerah Sumatera Selatan. Wilayah kekuasaan Banten di Sumatera ini banyak menghasilkan lada (merica) yang sangat berperan dalam perdagangan di Banten, sehingga membuat Banten menjadi kota pelabuhan penting yang disinggahi kapal-kapal dagang dari Cina, India, bahkan Eropa. Keadaan seperti ini berlangsung dari pertengahan abad ke-16 hingga akhir abad ke-18 (Graaf dan Pigeaud, 1985: 151-156). Pada sekitar abad tersebut kekuatan politik Banten memacu perdagangan lada, cengkeh, serta kemudian kopi di kawasan Lampung (Wolters, 1967). 

Sajarah Banten menyebutkan bahwa Sultan Hasanuddin pernah mengadakan perjalanan ke Lampung, Indrapura, Solebar, dan Bengkulu. Mengenai hubungan Banten dengan Lampung juga diceritakan oleh tradisi Orang Abung. Menak Paduka dan Menak Kemala Bumi pernah datang di Banten untuk mempersembahkan pengakuan kekuasaan tertinggi atas Tulang Bawang kepada Banten. Oleh Sultan Hasanuddin, Menak Paduka kemudian diberi gelar Patih Jarumbang dan Menak Kemala Bumi diberi gelar Patih Prajurit. Kedua tokoh ini kemudian masuk Islam dan selanjutnya melaksanakan islamisasi di daerah Lampung (Djajadiningrat, 1983).  

Penguasaan Tulang Bawang atas Banten berhubungan erat dengan politik ekonomi Banten terhadap Lampung khususnya menyangkut lada. Pada waktu itu lada merupakan komoditas ekspor terpenting. Banten sangat berkepentingan terhadap lada sehingga untuk urusan hukum adat dan kemasyarakatan, Tulang Bawang diberi hak otonomi sedangkan untuk lada sepenuhnya urusan Banten (Nurhakim dan Fadillah, 1990: 258 – 274). Peran besar Lampung dalam menyediakan lada untuk Banten didukung oleh faktor lingkungan. Tanah di daerah Lampung banyak mengandung lempung dengan sendirinya merupakan media yang sangat cocok bagi tanaman lada (Triwuryani, 1994: 4). 

Pada masa Sultan Hasanuddin kegiatan perdagangan lada dilakukan di bandar kecil yang disebut Tangga Raja. Bandar kecil ini milik tiap-tiap pemerintahan adat yang terdapat pada setiap kampung. Dengan demikian setiap pemerintah marga menjalin hubungan dagang secara langsung dengan Banten. Keadaan seperti itu berubah semenjak VOC menancapkan kekuasaan di Tulang Bawang. Pada tahun 1668 VOC mendirikan benteng Petrus Albertus (Fort Albertus) di Menggala tepatnya di Kampung Kibang (Warganegara, 1994: 13). Pelacakan di lapangan sudah tidak dapat lagi menemukan bekas-bekasnya. Menurut catatan Ronkel, maksud VOC mendirikan benteng ini untuk mencegah serangan Bugis dan Palembang. Namun dalam perkembangannya untuk kepentingan monopoli perdagangan. Tujuan utama VOC tersebut semakin terlihat ketika pada tahun 1684 didirikan loji dan bandar di Menggala (Yudha, 1996: 4). Usaha VOC berhasil, Sultan Haji akhirnya memberi monopoli perdagangan lada dari para penyimbang di daerah Lampung. Sejak itu Menggala tumbuh menjadi kota dagang yang sangat ramai. Perdagangan ini tidak hanya dilakukan oleh Abung dan Tulang Bawang tetapi juga dari Ranau dan Sekala Brak semuanya mengadakan perdagangan di Menggala (Hadikusuma, 1989: 52). Bangkrutnya VOC pada tahun 1799 tidak menjadikan Menggala surut. Pemerintah Belanda tetap menganggap Menggala sebagai kota penting. 

Berdirinya maskapai pelayaran Belanda, merupakan angin segar bagi Menggala. Kota ini menjadi bandar penting yang menghubungkan Lampung dengan Jawa dan Singapura. Barang komoditas yang semula hanya lada berkembang ke karet, kopi, serta hasil hutan seperti damar dan rotan. Pada tahun 1857 kota Menggala dijadikan ibukota Lampung bagian tengah yang dikepalai oleh Asisten Residen. Tahun 1873 kedudukan ini sedikit menurun karena setelah Lampung dibagi dalam enam Onder Afdeeling (Kawedanaan), Menggala menjadi salah satu diantaranya. Kedudukan Asisten Residen dipindahkan ke Teluk Betung. Surutnya Menggala dipicu oleh perkembangan teknologi transportasi berupa kereta api. Pada sekitar tahun 1920 telah dibuka jalur kereta api antara Tanjung Karang – Palembang. Keadaan ini menjadikan urat nadi transportasi pindah dari transportasi sungai ke transportasi darat. Akibatnya Menggala menjadi kota yang terpencil dan akhirnya mengalami stagnasi (Yudha, 1996: 4 – 5). Sejalan dengan penetrasi Belanda ini, kebudayaan masyarakat setempat terpengaruh juga, sehingga pengkayaan budaya terjadi. Di sini tampak terdapat dampak positif dari pengaruh asing di Menggala. Secara fisik warisan budaya masa lalu yang tercermin dalam kota tua Menggala masih dapat terlihat sisa-sisanya.  

MELONGOK SISA KEJAYAAN 
Kondisi kota Menggala sekarang merupakan pemukiman yang cukup ramai karena secara administratif selain sebagai ibukota kecamatan juga sebagai ibukota kabupaten. Prasarana transportasi berupa jalan darat yang dikenal dengan trans Sumatera lintas timur, menghubungkan Menggala dengan Palembang dan Bandar Lampung. Di samping itu Way Tulang Bawang juga masih difungsikan sebagai prasarana transportasi khususnya dari daerah pedalaman dan wilayah pesisir. 

Secara fisik Menggala menunjukkan suatu pemukiman yang sudah tertata dengan rapi. Pemukiman berada pada sisi selatan Way Tulang Bawang. Jalan-jalan utama dibuat sejajar dengan aliran Way Tulang Bawang. Antara jalan utama satu dengan lainnya dihubungkan oleh beberapa ruas jalan, sehingga membentuk suatu jaringan yang saling berpotongan secara tegak lurus. Gedung-gedung instansi dan sarana umum sudah lengkap. 

Kantor Polisi dan Tangga Raja 
Pada bagian selatan kota terdapat bekas bangunan kantor polisi. Komplek kantor berada pada lahan seluas sekitar 2 ha terletak di sebelah timur jalan raya yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kampung Ujung Gunung Ilir. Komplek bangunan terdiri dari asrama, ruang tahanan, gudang amunisi, masjid, dan perkantoran. Di sebelah timur laut bekas kantor polisi berjarak sekitar 3 km terdapat beberapa bangunan bekas kantor. Lokasi ini dekat dengan kelokan Way Tulang Bawang yang secara administratif termasuk di dalam wilayah Kampung Ujung Gunung Udik. Pada kelokan sungai ini, di sisi selatan, terdapat bekas bandar (pelabuhan) yang dahulu merupakan milik adat. Bandar demikian ini disebut dengan istilah “tangga raja”. Bangunan berupa jalan berteras (tangga) terbuat dari bata dan plesteran. Bangunan yang tersisa terdiri dari 10 teras dengan lebar sekitar 1,5 m panjang sekitar 7 m. Tangga menghubungkan jalan dengan sungai tempat kapal/perahu berlabuh. 

Kantor Pos 
Di sebelah barat tangga raja berjarak sekitar 300 m terdapat beberapa bangunan bekas kantor. Kantor Pos berada di sebelah selatan jalan. Bangunan kantor pos dibangun tahun 1875. Bangunan ini di samping berfungsi sebagai kantor, juga merupakan bangunan tempat tinggal yang terdiri tiga unsur yaitu bangunan induk, rumah tinggal, dan dapur. 

Bangunan induk berfungsi sebagai kantor memiliki denah empat persegi panjang dengan ukuran 16,50 m x 12,80 m. Bangunan induk difungsikan untuk pelayanan surat menyurat. Di dalam ruang ini terdapat kamar brankas yang dulunya merupakan tempat penyimpanan surat-surat maupun arsip Belanda. Kamar brankas tersebut memiliki pintu yang terbuat dari besi dengan gambar singa di bagian atasnya yang bertuliskan Martens Doetinchem Nederland, sebuah lambang atau stempel Belanda. Di sebelah kanan atau timur kamar brankas tersebut terdapat kamar yang berukuran 4,80 m x 4,60 m . Ukuran pintu masing-masing kamar 2,38 m x 1,20 m dan ukuran jendela 1,98 m x 1,59 m. Dahulu kamar tersebut digunakan sebagai tempat tinggal pegawai kantor pos dan sekarang digunakan untuk menyimpan barang. Batas antara ruang sisi sebelah kanan yang terdiri dari ruang pelayanan surat dan ruang brankas dengan sisi sebelah kiri yang terdiri dari kamar-kamar terdapat lorong yang tertutup sebagai jalan menuju ruang belakang atau ruang tempat tinggal. Di bagian ruang depan terdapat pagar yang terbuat dari besi, mirip dengan molding. Di atas jendela samping kiri dan kanan bangunan ini terdapat teritisan yang terbuat dari besi dengan penutup seng. Besi tersebut berbentuk lengkung-lengkung. 

Bangunan rumah tinggal terdapat di sebelah selatan atau belakang bangunan induk. Bagian ini terdiri dari kamar-kamar. Antara bangunan induk dan bangunan rumah tinggal dihubungkan dengan selasar terbuka (doorloop) sepanjang ± 16 m dan lebar 2,40 m. Di sebelah barat bangunan induk terdapat dapur. Antara bangunan induk dengan dapur juga dihubungkan selasar terbuka. Selasar ini sepanjang 13,60 m dan lebar 2,40 m. 


Gedung Perwatin 
Di depan Kantor Pos terdapat bekas gedung Perwatin, yaitu tempat para tokoh adat bermusyawarah membicarakan persoalan adat. Gedung ini pernah berfungsi sebagai Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Tulang Bawang. Gedung Perwatin berdenah empat persegi panjang berukuran 29,60 m x 21 m. Bangunan tersebut menghadap ke arah barat. Bentuk bangunan berupa shaped-U. Secara keseluruhan bangunan terdiri dari lantai, dinding, dan atap. Lantai dan dinding bangunan terbuat dari bahan kayu sedangkan bagian atap ditutup dengan genteng yang didatangkan dari Palembang sehingga penduduk setempat menyebutnya genteng Palembang. 

Bangunan gedung Perwatin terdiri dari bagian serambi, ruang sidang dan kamar-kamar berjumlah delapan buah, empat buah disisi kanan dan empat buah disisi kiri. Dari empat kamar sisi kanan terbagi menjadi dua kamar berada di sisi kanan ruang sidang dan dua kamar berada disisi kiri. Masing-masing kamar yang berada di sisi kiri dan kanan ruang sidang memiliki ukuran yang sama yaitu, 4,70 m x 4,30 m. Begitu pula empat kamar yang terletak di luar ruang sidang, dua kamar terletak menjorok kedepan pada sisi kanan dan dua kamar pada sisi kiri berukuran 6 m x 4,30 m. Keempat buah kamar tersebut berhubungan langsung dengan serambi depan. Bentuk serambi mengikuti bentuk bangunan . Bagian depan dari serambi merupakan taman. Di serambi tersebut terdapat tiang-tiang kayu sebagai penyokong konstruksi bangunan atap. Antara bagian serambi dan ruang sidang dibatasi dengan dinding kayu. Untuk memasuki ruang sidang digunakan dua pintu yang terletak di kiri dan kanan dinding kayu pembatas. Pintu-pintu tersebut berukuran tinggi 3,22 m dan lebar 1,23 m. 

Ruang sidang merupakan ruang terbuka berukuran 21 m x 9,4 m. Ruang sidang ini dibatasi oleh pagar kayu setinggi 1 m bermotif belah ketupat. Di atas pagar pada bangunan atap terdapat hiasan garis diagonal dengan roset di tengahnya. Sedangkan di atas dinding pembatas antara ruang sidang dan serambi depan terdapat ventilasi udara yang berupa bingkai segiempat bermotif garis-garis yang memotong sisi-sisinya serta garis diagonal yang saling berpotongan. Pada dinding kayu tersebut terdapat jendela kaca berukuran 2,42 m x 1,23 m. 

Saat ini kamar-kamar tersebut digunakan sebagai tempat urusan administrasi. Untuk memasuki kamar-kamar tersebut melalui pintu pada masing-masing kamar. Ukuran pintu tinggi 3,22m x 1,23 m. Di samping itu, di dalam kamar terdapat jendela dan pintu yang tidak memiliki hiasan. Pintu tersebut berfungsi sebagai penghubung antar kamar satu dengan yang lainnya. Ukuran pintu tinggi 1,80 m x 90 m, dan jendela tinggi 1,98 m x 1,59 m.

Tiang-tiang yang menopang bangunan balai adat di ruang sidang terbuat dari bahan kayu dengan bentuk dan ukuran yang hampir sama. Fungsi tiang-tiang tersebut merupakan penopang konstruksi bangunan atap. Balai adat pada awalnya digunakan untuk sidang pengadilan adat maupun agama yang digunakan oleh Marga Buay Bulan Hilir. 


Bangunan Bekas Kantor Onder Afdeeling 
Di sebelah barat bekas kantor Perwatin terdapat bekas bangunan tempat tinggal kontrolir yang juga sebagai Kantor Kawedanaan (Onder Afdeeling) Menggala. Bangunan yang ada sudah mengalami pemugaran total sekarang dipakai untuk Kantor Kecamatan Menggala. Di depan kantor kecamatan ini jalan berbelok menjadi membujur arah utara selatan. Pada ujung utara jalan sebelah barat terdapat bangunan bekas kantor pekerjaan umum. Bangunan yang ada terbuat dari papan berdiri di atas tiang (rumah panggung). Atap berbentuk limasan dengan bahan genting. 


Rumah Sakit dan Sekolah 
Di depan bangunan bekas kantor pekerjaan umum terdapat bangunan bekas rumah sakit. Bangunan yang tersisa tinggal bagian sudut yang sekarang dimanfaatkan untuk rumah tinggal. Bangunan yang tersisa berdinding papan, dengan atap berbentuk limasan dari bahan genting. Di sebelah selatan bekas rumah sakit terdapat lembaga pemasyarakatan yang hingga sekarang masih berfungsi sama. Di sebelah tenggara komplek perkantoran pada jarak sekitar 300 m terdapat bangunan SD Ujunggunung Ilir I. Dahulu sekolah ini merupakan sekolah desa yang hanya sampai kelas 3. 


Masjid Agung, Pasar, dan Bandar 
Di sebelah timur sedikit ke arah utara komplek perkantoran berjarak sekitar 2 km terdapat masjid agung. Masjid berada di sebelah barat laut jalan desa yang secara administratif berada di wilayah Kampung Kibang. Masjid didirikan pada tahun 1830. Pada tahun 1913 ditambah bangunan menara yang terdapat di sebelah barat daya bangunan utama. Tahun 1938 masjid dipugar, selanjutnya pada tahun 1985 bagian atap masjid juga mengalami pemugaran. Bagian atap yang tampak sekarang berupa atap bersusun dua yang pada puncaknya berbentuk kubah bawang. Pada bagian serambi terdapat tiang bergaya tuscan. Pada halaman samping selatan dan utara masih dijumpai adanya ubin terakota. 

Di sebelah utara masjid Agung berjarak sekitar 1 km terdapat sederetan rumah tinggal yang juga difungsikan sebagai toko. Kawasan ini dahulu merupakan satu-satunya pasar di daerah Menggala. Daerah ini termasuk di dalam wilayah Kampung Palembang. Bentuk rumah kebanyakan terdiri dari dua lantai, lantai atas untuk tempat tinggal sedangkan lantai bawah untuk toko. Salah satu bangunan yang ada dibangun pada tahun 1819. 

Di sebelah utara pasar berjarak sekitar 500 m, di Kampung Bugis terdapat pelabuhan dagang. Bangunan dermaga sebagai tempat berlabuhnya kapal berupa semacam dermaga ponton dengan konstruksi besi. Sampai sekarang pelabuhan ini pada waktu-waktu tertentu masih berfungsi. 

Di sebelah tenggara pasar berjarak sekitar 500 m, di Kampung Menggala terdapat gedung SD I Menggala yang dahulu merupakan sekolah hingga kelas 7. Keadaan bangunan sudah mengalami pemugaran. Menurut keterangan beberapa masyarakat setempat, bentuk dan konstruksi bangunan masih tetap dipertahankan. 

Rumah Tinggal 
Rumah tinggal penduduk yang masih mencirikan bangunan lama terkonsentrasi di sekitar kawasan perkantoran dan Masjid Agung. Bentuk bangunan berupa rumah di atas tiang kolong (panggung) dari bahan kayu. Pada beberapa bagian, misalnya di atas pintu atau jendela, dihias dengan ukiran pola sulur-suluran, geometris, atau kaligrafi. Rumah tinggal bangsawan relatif lebih luas. Pada bagian depan pada umumnya terdapat ruangan lebar tanpa dinding depan (semacam beranda). Tangga untuk memasuki rumah berada pada bagian samping sisi depan. 

Salah satu rumah tinggal yang masih belum banyak direnovasi adalah rumah milik keluarga Bapak Pagar Alam. Bangunan rumah menghadap ke selatan atau jalan raya. Denah empat persegi panjang berukuran 22 m x 14,50 m, berdiri pada tiang penyangga (panggung). Tinggi dari tanah hingga lantai sekitar 1,5 m. Untuk mencapai ruang teras atau serambi harus melewati tangga yang terletak di teras I. Tangga tersebut berada di sisi kiri dan kanan dari teras I. Pada teras I dikelilingi oleh pagar dengan motif garis yang saling berpotongan setinggi 1 meter. Di belakang teras I terdapat teras ke II dengan ukuran panjang 14,35 m x 14 m. Menurut informasi pemiliknya, Ibu Pagar Alam, teras ke II ini berfungsi sebagai tempat pertemuan adat atau pepung adat yang digunakan untuk laki-laki. Bagian belakang dari ruang teras II adalah ruang dalam yang berfungsi sebagai ruang tamu. Dalam pertemuan adat, ruang tersebut digunakan untuk tamu perempuan. Untuk memasuki ruang tamu tersebut dapat melalui salah satu dari empat pintu. Pintu tersebut memiliki dua daun pintu dengan ukuran tinggi 2,40 m x 1,43 m. Pada bagian tengah di antara dua pintu atau di tengah dinding terdapat hiasan dalam bingkai bermotif sulur-suluran. Hiasan tersebut dibuat oleh pengrajin yang didatangkan dari Jepara.  

Bagian ruang dalam setelah ruang tamu adalah ruang yang digunakan untuk kamar tidur. Untuk memasuki ruang dalam harus melewati salah satu dari dua pintu dengan ukuran tinggi 2,40 m x 1,43 m. Pintu tersebut memiliki dua daun pintu yang terbuat dari kayu dan kaca berukuran 2,40 m x 1,50 m. Kaca tersebut berwarna merah, biru, dan bening serta berisi motif kembang. Jumlah keseluruhan kamar empat buah, dua buah terletak di sisi kiri dan dua buah terletak di sisi kanan. Menurut Ibu Pagar Alam, kamar tersebut ditempati berdasarkan urutan anak yang tertua, misalnya, pada kamar sisi kanan urutan dari depan ditempati anak yang pertama sedang yang kedua ditempati anak yang kedua. Demikian juga pada kamar di sisi kiri ditempati anak yang ketiga, kamar berikutnya ditempati anak yang keempat. Bagian belakang dari kamar ini terdapat ruang dapur berukuran 3,90 m x 3,56 m.

MENATAP MASA DEPAN 
Menggala secara teoritis pada mulanya dapat dikelompokkan ke dalam kota yang terbentuk secara spontan. Kota semacam ini biasanya tumbuh dalam jangka waktu lama. Pertumbuhan kota tersebut didukung oleh banyak faktor antara lain geografi, ekonomi, sosial, dan politik (Hourani, 1970: 9-10). Pada masa yang lebih kemudian, terutama pada masa-masa di mana budaya Barat masuk dibawa oleh VOC kota Menggala berkembang sebagai kota yang direncanakan. Prasarana transportasi dan berbagai fasilitas umum dibangun mengikuti kebutuhan, walaupun dalam hal ini ada kecenderungan mengikuti kebutuhan penguasa.

Morfologi kota Menggala berbentuk pita. Peranan jalur transportasi darat berupa jalan raya yang memanjang sejajar dengan aliran sungai, sangat dominan dalam mempengaruhi perkembangan kota. Keadaan demikian juga dipengaruhi oleh keadaan lahan ketika itu yang tidak memungkinkan untuk perluasan areal ke samping. Dengan demikian space untuk perkembangan areal kekotaannya hanya mungkin memanjang saja (Yunus, 2000: 118). Dalam kebangkitannya dewasa ini, perkembangan kota Menggala mengalami pergeseran ke arah selatan dengan tidak mengubah morfologi kota lama. 

Beberapa bangunan lama sebagian besar masih kokoh berdiri menyiratkan kejayaan masa lalu. Menggala masih memperlihatkan bekas kota dagang yang signifikan pada jamannya. Dalam sejarahnya berkembang dan matinya kota Menggala berkaitan erat dengan prasarana transportasi. Bangkitnya kembali kota Menggala juga karena telah dibukanya jalur transportasi lintas timur trans Sumatera. Menggala sekarang ini berada pada masa dominasi mobil antarkota. Kota yang demikian ini ditandai dengan perkembangan penggunaan mobil maju dengan pesatnya. Akibatnya perluasan jaringan transportasi darat makin dirasakan pada daerah-daerah yang semula belum terjangkau alat-alat angkut. Morfologi kota akan berubah seperti binatang gurita (Yunus, 2000: 155). 

Kecenderungan perkembangan semacam ini juga tampak pada kota Menggala. Jalur transportasi tidak hanya memanjang seperti pita tetapi sudah ke berbagai arah. Kota-kota satelit yang semula merupakan pemukiman transmigran di sekitar Menggala, kini berkembang menuju kota moderen. Kecenderungan perkembangan semacam ini perlu ditanggapi secara arif oleh penentu kebijakan. 

Kota lama Menggala tetap merupakan kawasan penting dalam rangka perkembangan kota. Bangunan lama yang masih tersisa, secara moral memberikan dorongan bagi kemajuan kota selanjutnya. Korban-korban pembantaian bangunan lama bersejarah di berbagai tempat sudah terlalu banyak. Kalau kecenderungan tersebut dibiarkan, maka akan lenyap ciri-ciri khas dan jatidiri masing-masing kota yang tercermin dari keberadaan warisan arsitektur peninggalan masa lampau. Kota yang tidak lagi memiliki lingkungan lama yang bernilai sejarah pada hakikatnya serupa dengan kota yang tidak punya bayangan, dalam arti kota yang tidak memiliki orientasi (Budihardjo, 1993: 33). Untuk menghindari hal semacam itu kawasan kota lama Menggala mutlak dipikirkan secara arif untuk kepentingan mendatang. 
Oleh Nanang Saptono
KEPUSTAKAAN
Budihardjo, Eko dan Sudanti Hardjohubojo. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Bandung: Alumni.
Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Penerbit Djambatan, KITLV.
Graaf, H.J. de dan Pigeaud, Th. G. Th. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Grafitipers.
Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan adat-Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.
Hourani, A.H. 1970. “The Islamic City in the Light of Recent Research”. Dalam Hourani, A.H. dan Stern, S.M. (ed.) The Islamic City a Colloquium. Oxford: Bruno Cassirer and University of Pennsylfania Press. Hlm. 9 – 24.
Nurhakim, Lukman dan Moh. Ali Fadillah. 1990. “Lada: Politik Ekonomi Banten di Lampung”. Dalam Analisis Hasil Penelitian Arkeologi III: Agrikultur Berdasarkan Data Arkeologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 258 – 274.
Triwuryani, Rr. 1994. “Kajian Budidaya Lada di Jawa dan Sumatera Abad 16 – 17: Suatu Penerapan Model Arkeo-Ekologi”. Makalah dalam Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Palembang 11 – 16 Oktober 1994. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (belum diterbitkan).
Troe, Adnand (et all.). 1997. Menyelami Tulang Bawang. Menggala: Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang dan Tulang Bawang Enterprise.
Warganegara, Marwansyah. 1994. Riwayat Orang Lampung. (naskah belum diterbitkan).
Wolters, O.W. 1967. Early Indonesian Commerce. New York, Ithaca: Cornell University Press.
Yudha, Ahmad Kesuma. 1996. “Perspektif Sosiologis Dalam Pembangunan Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulang Bawang”. Makalah pada Seminar Pembangunan Masyarakat Tulang Bawang. Bandar Lampung, 29 – 30 Maret 1996. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulang Bawang (belum diterbitkan).
Yunus, Hadi Sabari. 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



[1] Cerita sejarah tersebut disampaikan oleh beberapa tokoh Lembaga Adat Masyarakat Gunung Katon, Marga Buay Bulan Udik.
[2] Masyarakat Tulang Bawang terdiri 5 marga 4 pasirah (kepala marga) yaitu Marga Buay Bulan (Hilir dan Udik), Tegamoan, Suay Umpu dan Aji. Masyarakat Lingai, Kibang, dan Lebuh Dalem merupakan Marga Buay Bulan Hilir.
[3] Minak Sengaji mungkin hanya mengukuhkan sebutan kampung-kampung di Rantau Tejang menjadi Menggala.

Kabupaten Tulang Bawang Menggala Kota "MATI"



           Tulang Bawang yang beribukota Menggala merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung, yang sebagian wilayahnya dilalui oleh jalan Lintas Timur Sumatera, sehingga merupakan salah satu alternative bagi kendaraan/ pengguna jalan yang akan menuju Propinsi/ Kota-Kota lainnya ke bagian utara Pulau Sumatera. Dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung menjadi perhatian pengguna jalan yang melintasi Kabupaten. Pada masa sebelum kemerdekaan kota Menggala disebut sebagai “Paris Van Lampung” karena menurut peta sejarah kebudayaan dan perdagangan di Nusantara, menggambarkan Tulang Bawang merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia, di samping Kerajaan Melayu, Sriwijaya, Kutai dan Tarumanegara. Meskipun belum banyak catatan sejarah yang mengungkapkan keberadaan kerajaan ini, namun catatan Cina Kuno menyebutkan pada pertengahan abad ke-4, seorang peziarah Agama Budha yang bernama Fa-Hien, pernah singgah di sebuah kerajaan yang makmur dan berjaya To-Lang Po-Hwang (Tulang Bawang) di pedalaman Chrqse (Pulau Emas Sumatera).

             Sampai saat ini belum ada yang dapat memastikan pusat kerajaan Tulang Bawang, namun ahli sejarah Dr. J.W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang (antara Menggala dan Pagar Dewa) sekitar 30 km dari pusat kota Menggala.            

              Karena Menggala (juga Pagar Dewa) merupakan salah satu kota tertua di Propinsi Lampung, maka sejak dahulu seni dan budayanya sudah berkembang. Selain karena Tulang Bawang banyak wilayahnya merupakan daerah rawa pasang surut, maka potensi objek wisata yang indah pun cukup banyak. Apalagi ulang Bawang dilalui oleh sungai terbesar di Propinsi Lampung yaitu Way Tulang Bawang, yang tentu saja menyimpan banyak potensi Sumber Daya Alam untuk dikembangkan, termasuk pariwisata. Pengembangan pariwisata merupakan salah satu andalan pembangunan di Indonesia pada umumnya dengan kondisi Negara Indonesia yang sangat kaya dengan objek wisata karena keragaman budaya dan keindahan alamnya. Potensi setiap wisata yang ada di setiap daerah dan pelosok termasuk di Kabupaten Tulang Bawang, memberikan peluang untuk peningkatan pariwisata baik dari segi kuantitas maupun kualitas agar dapat menjaga sifat keandalannya yang belum nampak konstribusinya pada masalah peningkatan fungsi dan peran kepariwisataan pada pengembangan daerah

MENGGALA KOTA SEJARAH DAN BUDAYA

               Selain sebagai Ibukota Kabupaten Tulang Bawang, Menggala merupakan salah satu kota tua yang berkembang sejak Pemerintahan Kolonial Belanda. Ciri khas kehidupan tradisional, kesibukan sebagai kota pelabuhan sungai, pola pemukiman, rumah-rumah tua dan tata kehidupan asli masih sangat terlihat. Beberapa fasilitas yang tersedia yaitu beberapa Hote, Wartel, Rumah Makan. Menggala cukup menarik bagi mereka yang menyenangi budaya dan sejarah lama, kehidupan tradisional dan kesibukan perdagangan tradisional di Pasar Lama dan Pelabuhan sungai Tulang Bawang yang membelah Kota Menggala.

DAERAH ALAMI RAWA TULANG BAWANG

             Way Tulang Bawang adalah sungai terbesar di provinsi Lampung dengan lebar sekitar 200 m yang melintasi kota Menggala. Selain dapat dijadikan sebagai objek wisata petualangan, berkemah, memancing dan lainnya, saat ini masih banyak juga masyarakat yang mendiami beberapa bagian sungai ini, baik untuk tempat tinggal maupun sebagai tempat mencari nafkah dengan memasang keramba ikan di sekitar sungai ini. Rawa Tulang Bawang merupakan lahan basah tersisa yang terbaik di Sumatera. Beberapa wilayah rawa alam yang masih banyak menyimpan keaslian lingkungan alam setempat berikut isinya adalah : Rawa Pacing dan Rawa Kandis serta bagian-bagian dari Rawa Bujung Tenuk.



MAKAM MINAK PATI PRAJURIT

               Komplek makam terletak di Kecamatan Pagar Dewa. Makam ini merupakan salah satu peninggalan Sejarah / bukti sejarah tentang eksitensi kelompok masyarakat adat yang ada di Kabupaten Tulang Bawang. Pagar Dewa merupakan Kota  Kecamatan yang banyak menyimpan rekaman sejarah masa lampau. Suasana Tradisional, arsitektur khas masih dapat dijumpai disini. Pada waktu tertentu upacara tradisional sering diadakan. Ciri utama tempat ini adalah Pemukiman yang terletak di sisi sungai.

KEBUDAYAAN

Penduduk Kebupaten Tulang Bawang secara garis besar dapat dikelompokkan dalam masyarakat adat Lampung (masyarakat asli Lampung) dan kelompok pendatang. Keberadaan kelompok ini telah membentuk suatu pertalian adat dan budaya yang menjadi suatu akulturasi budaya. Masyarakat adapt Lampung kebanyakan termasuk adat Pepadun dengan sebutan Marga Megou Pak Tulang Bawang (marga empat Tulang Bawang) yang tersebar di kecamatan-kecamatan di wilayah Kabupaten Tulang Bawang.

Adat Pepadun Megou Pak Tulang Bawang terdiri dari empat kebuayan, yaitu :

1. Buay Bulan (Kecamatan Menggala dan Kecamatan Tulang Bawang).

2. Buay Suwai Umpu (Kecamatan Menggala, Kecamatan Gunung Terang dan Kecamatan Simpang Pematang).

3. Buay Tegamoan (Kecamatan Tulang Bawang Tengah dan Kecamatan Menggala).

4. Buay Aji (Kecamatan Gedong Aji).

Pandangan hidup yang dibuat oleh masyarakat Lampung adalah Pi’il Pesenggiri berperangai keras dan cenderung mempertahankan diri terutama bila menyangkut nama baik keturunan, kehormatan pribadi dan kerabat (Hilman Hadikesuma, 1990). Secara umum, dalam Pi’il Pesenggiri ini terdapat 4 (empat) unsur yang juga menyertai, yaitu Juluk Adek (pemberian gelar), Nemui Nyimah (menerima tamu dan memberi hadiah), Nengah Nyappur (bercampur dan berinteraksi dengan orang lain, terutama dengan orang yang dianggap sejajar dengan kedudukannya atau bahkan lebih tinggi) dan Sakai Sambayan (gotong-royong bergantian mengerjakan sesuatu pekerjaan yang berat).

Seiring perkembangan zaman di dalam masyarakat Lampung sudah terjadi akulturasi budaya sejak zaman penjajahan Jepang dan hingga kini masih terus berjalan. Proses tersebut dipercepat dengan adanya pertukaran/perpindahan penduduk, dimana ada penduduk Lampung yang pindah ke Jawa baik untuk menuntut ilmu maupun untuk bekerja dan sebaliknya banyak penduduk Jawa atau daerah lain yang transmigrasi khususnya ke Tulang Bawang untuk mendapatkan pekerjaan (mengadu nasib). Kaum pendatang umumnya merupakan transmigran lokal dari daerah kabupaten lain dan terdiri atas beberapa etnis, seperti Jawa, Sunda, Bali, Batak, Padang, Palembang dan Bugis. Kaum transmigran ini tersebar luas ke seluruh kecamatan dan Kecamatan Mesuji merupakan kecamatan yang sebagian besar dihuni oleh kaum pendatang dari berbagai etnis tersebut.

Proses akulturasi budaya mempengaruhi pembentukan pola-pola daerah permukiman. Perkampungan penduduk asli di Lampung masih banyak dijumpai mengikuti jalan, garis pantai dan aliran sungai dengan pola linear dan pola mengelompok secara sporadis pada wilayah-wilayah pertanian. Sedangkan penduduk pendatang umumnya bermukim pada kantong-kantong permukiman yang sudah terbentuk dengan dan atau tanpa pengaturan seperti, lahan transmigrasi dan permukiman tradisional/perkampungan (desa-desa).

Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan. Penggunaan bahasa Lampung dalam kehidupan sehari-hari masih sering kita dengar baik dalam masyarakat maupun dalam lingkungan kerja. Hal ini menunjukkan bahwa kekerabatan dalam masyarakat Lampung masih cukup erat.

Masyarakat adat Megou Pak memiliki mata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Mata pencaharian utama adalah bertani di lahan kering seperti berladang dan berkebun. Sedangkan masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai dan rawa biasanya memiliki mata pencaharian sebagai penangkap ikan.

Kegiatan membuka lahan pada mulanya diawali dengan beberapa kegiatan ritual yang bermakna bahwa sebelum berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terlebih dahulu mohon keselamatan agar terhindar dari bahaya. Ritual ini disebut Ngebali, yang dilaksanakan oleh sanak keluarga yang akan membuka lahan untuk ditanami padi atau tanaman lainnya. Setelah Ngebali, selanjutnya bersama-sama keluarga besar melaksanakan Kusituwaw untuk memotong kayu-kayu kecil, semak belukar yang ada di lahan yang akan digarap menjadi lahan pertanian.

Selanjutnya melakukan Nuwaw, yaitu kegiatan menebang kayu-kayu pohon yang ada di sekitar lahan garapan. Setelah lahan yang dibersihkan kering, kegiatan selanjutnya adalah Nyuah yaitu kegiatan membakar lahan untuk dipersiapkan menjadi lahan pertanian. Dari tata cara atau pola bertani seperti di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Megou Pak awalnya berpindah-pindah dari satu lahan ke lahan berikutnya. Lahan yang pernah digarap oleh suatu kelompok masyarakat akan dijadikan lahan garapan keluarga secara turun temurun.

PARIWISATA

Potensi kepariwisataan Kabupaten Tulang Bawang meliputi potensi produk dan produksi pasar pariwisata. Potensi produk pariwisata di Kabupaten Tulang Bawang terdiri dari objek, akomodasi, restaurant, kerajinan/cinderamata, pos dan telekomunikasi. Sedangkan potensi pasar terdiri dari potensi pasar potesial dan pasar aktual. Kabupaten Tulang Bawang memiliki berbagai objek wisata budaya/sejarah dan wisata alam yang dapat diandalkan. Objek wisata ini tersebar di beberapa kecamatan.

OBJEK WISATA ALAM

Objek wisata alam terdiri dari rawa-rawa (wet land), sungai dan danau. Kabupaten Tulang Bawang menyimpan berbagai potensi pariwisata yang layak dikembangkan antara lain River Tour di Sungai Tulang Bawang dan Mesuji, perkampungan di atas air di Kuala Teladas, areal konservasi Rawa Pitu, Rawa Pacing, Bujung Tenuk. Berikut adalah potensi wisata alam di Kabupaten Tulang Bawang.



Bujung Tenuk


Kawasan rawa Bujung Tenuk di kota Menggala merupakan daerah rawa pasang surut yang menjadi tampungan air di musim hujan secara alami, sehingga musim hujan terlihat seperti danau yang sangat luas dan tentu saja pemandangannya sangat indah. Pada musim kemarau kawasan ini menjadi padang luas yang dilalui oleh berbagai jenis burung spesies langka di dunia dan dapat dijadikan untuk menggembala ternak masyarakat. Objek wisata ini berlokasi di jalan Lintas Timur Sumatera dan sebagian berada di trans Asean.

Bawang Latak :

 Kawasan rawa Bawang Latak juga berada di Kecamatan Menggala merupakan objek wisata alam dan petualangan yang berada kurang lebih 3 km dari pusat kota.

Rawa Pacing :

Kawasan ini terletak di Kecamatan Banjar Agung (Bakung Kecamatan Menggala), merupakan lahan basah dengan luas 12.000 ha, memiliki pemandangan yang indah, kekayaan flora dan fauna. Aktivitas yang dapat dilakukan adalah berperahu, berkemah, tracking, dan lain-lain.

Cakat : Merupakan objek wisata alam berupa kawasan rawa berada di Kecamatan Menggala Sungai dan Danau


Way Tulang Bawang


Way Tulang Bawang adalah sungai paling besar/lebar di Provinsi Lampung dengan lebar 200 meter yang melintasi kota Menggala. Selain dapat dijadikan sebagai objek wisata petualangan, berperahu, berkemah di pinggir sungai, memancing juga kegiatan wisata lainnya. Di atas sungai masyarakat juga memasang keramba ikan sebagai mata pencaharian. Untuk pengembangan di masa yang akan datang, Way Tulang Bawang dapat dijadikan sebagai arena olahraga rutin tahunan misalnya lomba perahu hias, lomba dayung, dan lomba memancing, disamping itu juga dapat dibangun rumah makan terapung dan pusat penjualan makanan khas serta souvenir Tulang Bawang.

Danau/Rawa Pitu :

merupakan salah satu areal konservasi di Kabupaten Tulang Bawang yang terletak di Kecamatan Gedung Aji. Di sini terdapat berbagai jenis vegetasi dan hewan tropis serta ratusan spesies burung yang bermigrasi antar benua. Tempat ini sangat cocok untuk berwisata sambil mengadakan penelitian ilmiah.

Kuala Teladas :

terdapat perkampungan masyarakat di atas air, namun mereka juga memanfaatkan sungai untuk keramba yang hasilnya di jual ke luar Lampung. Wisatawan dapat menikmati River Tour serta Farm and Rural Tourism.


Danau Wirabangun dan Bawang Lambu


Bawang Lambu terletak di Kecamatan Pagar Dewa sekitar satu jam dari Kota Menggala adalah sebuah danau yang selain memiliki pemandangan indah (flora), juga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai mata pencaharian nelayan untuk mencari ikan, di danau ini pula terdapat 2 (dua) makam yang dianggap keramat oleh masyarakat sekitar, yaitu makam Menak Makdum dan Menak Melako yang konon menurut sejarah adalah kakak beradik dan merupakan keturunan Menak Indah (Tuan Rio Sanak) dari Panaragan. Selain itupula terdapat beraneka ragam satwa burung dan ada seekor buaya yang dianggap keramat oleh masyarakat sekitar danau yang dipelihara oleh seorang warga setempat. Di Bawang Lambu ini aktivitas wisata yang dapat dilakukan adalah memancing, berperahu, berkemah, wisata petualangan, outbond, mencari jejak, menikmati pemandangan indah, dan beraneka jenis burung langka.  saat ini

Objek Wisata Sejarah dan Budaya

Kabupaten Tulang Bawang memiliki berbagai objek wisata budaya/sejarah yang dapat diandalkan, seperti ibukota Tulang Bawang yang merupakan kota tertua, dan sanggar-sanggar seni/budaya warisan nenek moyang banyak berkembang di Kabupaten Tulang Bawang. Beberapa acara masyarakat Tulang Bawang dilaksanakan secara adat, misalnya : pernikahan, khitanan, pemberian gelar adat, mendirikan rumah (ruwah bumi) dan lain-lain merupakan wisata budaya yang menarik wisatawan.

Objek Wisata Ziarah (ziarah ke makam para pahlawan tersebar di wilayah Tulang Bawang diantaranya) :

Makam Menak Sengaji di Menggala, Makam Menak Ngegulung di Tiuh Toho, Makam Menak Rio Tengah, Makam Menak Mangku Bumi/ Tiuh Rio Mangku Bumi, Makam Menak Sang Putri Haji Bawas, Makam Menak Patih Prajurit di Pagar Dewa, Makam Menak Temenggung, Makam Menak Indah/Tuan Rio Sanak, Makam Tubagus Buang.

Pagar Dewa merupakan kota kecamatan yang banyak menyimpan rekaman sejarah masa lampau. Suasana tradisional, arsitektur khas masih dijumpai di sini. Pada waktu tertentu upacara tradisional sering diadakan. Ciri utama tempat ini adalah pemukiman yang terletak di sisi sungai.

Objek wisata sejarah dan budaya lainnya adalah :

Tangga Raja Menggala merupakan wisata sejarah/alam yang berada di Kecamatan Menggala.

Pulau Daging merupakan wisata sejarah dan alam berada di Kecamatan Menggala.

Benteng Sabuk merupakan wisata sejarah yang berada di Kecamatan Tulang Bawang Udik.

Desa Tradisional Pagar Dewa.

Sanggar Seni Besapen merupakan wisata budaya untuk mengenal dan mempelajari kesenian tradisional Lampung.

Makam Kuno di Pagar Dewa, Gedong Aji, Bakung Ilir/Udik.

Objek Wisata Agro

Berikut adalah beberapa objek agrowisata potensial di Kabupaten Tulang Bawang :

Pabrik Pengalengan dan Kebun Nanas di Simpang Pematang.

Kebun Jeruk BW atau Jeruk Cho-kun di Kecamatan Tanjung Raya dan Mesuji yang hasilnya diekspor ke luar negeri.

Tambak Udang PT. Aruna Wijaya Sakti (ex. Dipasena Citra Dharmaja) di Kecamatan Rawa Jitu Timur, sebagai tempat budidaya udang yang pernah tercatat sebagai produsen udang terbesar di Indonesia bahkan Asia.

Pabrik Gula di Gedung Meneng.

Perkebunan Karet, Kelapa Sawit, Nanas, Singkong dan Tebu yang tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Tulang Bawang juga memberikan daya tarik wisata tersendiri bagi wisatawan tertentu, baik untuk agro wisata maupun untuk penelitian.

Kabupaten Tulang Bawang setiap tahunnya memiliki agenda tetap yaitu Festival Megou Pak Tulang Bawang yang tujuannya untuk mempromosikan potensi objek pariwisata dan pelestarian kebudayaan lokal untuk mendatangkan kunjungan wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara.

Festival Megou Pak Tulang Bawang

Festival Megou Pak Tulang Bawang adalah salah satu agenda tahunan Kabupaten Tulang Bawang yang diselenggarakan setiap tahunnya antara bulan Februari s/d Maret yang bertujuan untuk menggali dan mengembangkan potensi daerah dan Sumber Daya Manusia yang ada di Tulang Bawang, selain itu juga untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun Kabupaten Tulang Bawang. Adapun kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka Festival Megou Pak anatara lain :

1. Pembukaan yang meliputi Kirab/Pawai Budaya Megou Pak, Medley Lagu Lampung dan Tari Kolosal.

2. Pemilihan Muli - Menganai Tulang Bawang

3. Lomba Lagu Pop Daerah Lampung

4. Lomba Tari Kreasi Daerah Lampung

5. Megou Pak Music Contest

6. Kirab Motor Antik

7. Megou Pak Culture Exhibitio