Tulang Bawang, Era globalisasi saat ini telah menggerus dan mengikis habis budaya dan peradaban bangsa Indonesia, yang konon katanya tak lapuk karena hujan-tak lekang karenapanas. Kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini yang telah ditawarkan oleh masyarakat dunia di era globalisasi pada bangsa Indonesia telah menjadikan bangsaIndonesiasebagai bangsa yang konsumtif dalam segala bentuk peri kehidupan sosial masyarakat.
Penggerusan dan pengikisan peradaban bangsa Indonesia juga tentunya telah merambah dalam kehidupan sosial masyarakat Lampung, khususnya masyarakat Lampung Pepadun.
Sudah menjadi kodratnya, manakala kapitalisme dan imperialisme telah merajai dunia, maka rusak sudah peradaban anak bangsa. Sebagai gambaran pada masyarakat Lampung Pepadun, dalam hal resepsi pernikahan gawi adat yang mungkin untuk saat ini terdengar asing dikalangan masyarakat adat Lampung Pepadun yang ekonominya berada pada tingkat ekonomi kelas menengah kebawah, sebab gawi adat Lampung Pepadun itu umumnya dilaksanakan oleh mereka yang tergolong dalam kelas ekonomi menengah keatas. Hal ini setidaknya telah menimbulkan kesenjangan sosial dikalangan masyarakat adat Lampung, sebab diakui atau tidak, dapat kita simpulkan bahwasannya gawi adat itu hanyalah kepunyaan mereka yang memiliki kekayaan yang cukup guna melaksanakan gawi adat.
Yang menjadi pertanyaannya adalah dimanakah upaya para Punyimbang adat Lampung Pepadun dimasing-masing adat kebuayannya dalam menyikapi fenomena yang terjadi dalam hiruk pikuk kebudayaannya yang cenderung bersifat kapital, sehingga pandangan ini merupakan koreksi feodal dalam pelestarian adat dan budaya, khususnya gawi adat yang katanya memakan biaya yang sangat fantastis dan tidak relevan dengan keadaan ekonomi masyarakat adat Lampung pada umumnya. Sebagai contoh sederhana, ketika seorang bujang Lampung akan meminang seorang gadis, terlebih dia adalah anak gadis seorang Punyimbang, maka hal yang akan dilakukan oleh pihak sang bujang adalah setidaknya menjual hak ulayat tanah bersangkutan guna memenuhi tuntutan atau permintaan yang ditawarkan oleh pihak sang gadis, disamping itu juga sebagai bentuk pemenuhan imij (piil) yang mungkin keliru dalam memaknai tujuan dari piil itu sendiri.
Apakah hal itu yang kita sebut sebagai demokrasi?? Dimanakah upaya para Punyimbang untuk menekan tingginya nilai dan harga yang teramat fantastis serta terindikasi sebagai penghambat gerak laju hidupnya adat dan budaya warisan leluhur masyarakat adat Lampung secara turun temurun. Untuk itu marilah sama-sama kita kaji ulang dimanakah letak mahalnya nilai adat dalam pelaksanaan resepsi pernikahan gawi adat Lampung Pepadun, terkhusus diwilayah hukum adat Megou Pak Tulang bawang. Dapatkah kita menekan tingginya angka itu, sehingga masyarakat adat Lampung yang memiliki ekonomi rendah sekalipun, tetap dapat melaksanakan gawi adat sesederhana mungkin tanpa harus menjual hak ulayat tanah adat bersangkutan.
Mungkin sangat kita sesali apabila sepanjang era otonomi daerah masa kini tidak ada upaya para Punyimbang dalam menyikapi fenomena yang terjadi sebagai penghambat gerak laju lestarinya adat budaya Lampung, terlebih lagi sungguh ironis apabila seorang Kepala Daerahnya berasal dari kalangan masyarakat adat yang telah dibesarkan dalam kandungan adat juga telah memiliki gelar adat, tetapi tidak ada upaya moral dalam membina dan mengayomi adat dan budaya dalam kehidupan sosial masyarakat adat Lampung. Untuk itu patut kita pertanyakan, masih pantaskah kepala daerah seperti itu kita sebut sebagai pemimpin??
Persoalan-persoalan yang terjadi saat ini, baik itu masalah hak ulayat maupun masalah kultural, penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah tidak adanya aturan adat yang senafas dengan Pancasila dan tidak pula menyesuaikan dengan gerak laju perubahan zaman. Mungkinkah busur panah yang dibentangkan oleh kolonial masih tetap tersimpan dalam lumbung adat para pemangku dinasti kekuasaan daerah.
kenyataan pahit yang dirasakan saat ini permasalahan adat Megou Pak Tulang Bawang terinjak-injak harga dirinya oleh pemangku kekuasaan Gubernur lampung (Sahrudi ZP), yang konon katanya pemangku adat Megou Pak Tulang Bawang tidak di akui secara penuh oleh sahrudin, karna hukum adat megou pak sampai saat ini belum di revisi oleh pemerintah daerah, prodak adat yang sekarang masih tergolongan sangat lemah di mata hukum indonesia, karena tidak bernafakan pancasila. jadi pemangku adat dengan pemerintahan harus segera merevisi hal tersebut, agar sesui UUN 1945 seperti tertuang dalam pasal 18 B ayat 2,.
Editor ; Hendra HY
Sumber : Satria Ali, S.H
0 komentar:
Posting Komentar