Definition List

Selasa, 11 Februari 2014

Tulang Bawang; Otonomi Masyarakat Hukum Adat



Menggala:, Sejak digulirkannya era reformasi, otonomi daerah dan supremasi hukum, telah membawa perubahan yang signifikan terhadap sistem pengaturan komunitas masyarakat hukum adat melalui amandemen UUD 1945 Pasal I8B. Sayang keadaan ini tidak membuat kehidupan masyarakat hukum adat menjadi lebih baik, bahkan keadaannya semakin memperihatinkan. Masyarakat hukum adat semakin tergerus oleh kepentingan segelitir elite politik demi memenuhi sahwat politiknya untuk menggapai kekuasaan.


Keadaan itu semakin tidak menguntungkan komunitas masyarakat hukum adat, sebab sebagai contoh pertikaian konflik agraria antara pihak kapitalis (dalam hal ini merupakan pihak perusahaan swasta) dengan pihak komunitas masyarakat hukum adat (sebagai pengakuan adanya hak ulayat) tidak pernah mendapatkan respon yang positif dari pihak pemerintah daerah, dalam rangka melindungi dan menegakkan otoritas masyarakat hukum adat, yang ada hanyalah janji-janji yang penuh dengan kepalsuan. Demokrasi yang didengungkan itu hanyalah ditujukan guna melindungi hak-hak kapitalis yang telah menggerogoti dan mengorbankan hak-hak masyarakat hukum adat sebagai masyarakat marginal dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.


Sejalan dengan hal tersebut diatas, bertalian dengan adanya konflik kepentingan khususnya mengenai tampuk pimpinan masyarakat hukum adat Megou Pak Tulang Bawang yang telah melahirkan empat (4) pucuk pimpinan yang berbeda-beda secara geopolitik, adalah karena ketidak pahaman beberapa unsur punyimbang adat dalam merespon gerak laju perubahan politik dan hukum dinegeri ini, sebab sejak hapusnya pemerintahan Marga di Lampung 1952 (Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia : 127) tidak pernah ada gugatan secara riil oleh para Punyimbang Adat Marga dalam menanggapi hapusnya pemerintahan Marga di Lampung.


Bahkan pernah diwacanakan adanya pemekaran Kabupaten nama Panaragan (sekarang wilayah eks Kabupaten Tulang Bawang), yang digagas oleh Lembaga Masyarakat Adat Panaragan serta dituangkan melalui Keputusan Lembaga Adat pada 20 Juli 2005, dengan maksud agar Kabupaten tersebut dilahirkan atas dasar Pasal 18B UUD1945, sehingga Kabupaten tersebut merupakan Kabupaten yang berADAT, akan tetapi kenyataannya adalah telah terjadi penyimpangan serta pelecehan keputusan Lembaga Adat dimaksud oleh oknum-oknum tertentu, yang diataranya mungkin saat ini telah menjabat sebagai pucuk pimpinan Ketua Lembaga Adat Megou Pak Tulang Bawang. Untuk apa memegang pimpinan adat jika tidak ada komitmen untuk mengangkat kembali citra masyarakat hukum adat dalam kancah politik di negeri ini??


Otonomi yang didengungkan saat ini hanyalah menguntungkan pihak-pihak birokrasi pemerintah daerah, pihak kapitalis (Perusahaan Swasta), juga para elit politik yang memegang peran sebagai pembuka keran otonomi daerah, sedangkan fungsi kelompok marginal cuma sekedar menjadi kayu api bagi segelintir elite (R.Yando Zakaria, Praktisi Antropolog pada Institut for Sosial Transpormation/Insist Yogyakarta), dalam rangka menghidupkan bara api otonomi. Bukankah pemberian otonomi daerah tentunya sejalan dengan pemuliaan identitas budaya di masing-masing daerah di Indonesia, tapi kenyataannya adalah jauh panggang dari api.


Sebaiknya Partai Politik yang mencalonkan seorang kepala daerah yang berasal dari unsur birokrasi pemerintah, tidak mendapatkan tempat dalam kehidupan demokrasi, sebab secara rasional Kepala Daerah adalah jabatan yang bersifat Politis, yang tentunya seorang politisilah yang pantas untuk menduduki jabatan dimaksud, sebab jika seorang birokrat menduduki jabatan yang bersifat politis, maka sudah barang tentu dia tidak akan mengaspirasikan suara masyarakat sipil (masyarakat adat), melainkan hanyalah kepentingan birokrasinya saja yang lebih diutamakannya. Coba dilihat secara arif dan bijaksana sudah berapakah kader Partai Politik murni yang menduduki jabatan kepala daerah se-Kabupaten di Lampung ini.

Untuk itu perlu kita sebagai sanak Punyimbang kembali berinstropeksi diri serta sadar (NGEBERENGOH), bahwa dalam era globalisasi saat ini penuh dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi, sehingga kearifan budaya lokal khususnya budaya Lampung dapat terus berkembang secara berkesinambungan dalam rangka menjawab tantangan zaman yang terus berkembang secara berkelanjutan. Bukankah demokrasi merupakan syarat yang diperlukan melindungi masyarakat adat  (Sarwono Kusuma Atmadja, Mantan Menteri Negara dan Pemberdayaan Aparatur Negara)..

Sebaiknya para Punyimbang adat Lampung NGEBERENGOH, dan kembali pada tatanan musyawarah adat secara bulat dan utuh guna mewujudkan konsensus politik adat, sehingga diharapkan kedepan masyarakat hukum adat dapat berperan secara aktif dalam kancah politik di daerah. Bukan punyimbang yang hebat yang kita perlukan, bukan pula punyimbang yang gagah yang kita perlukan, bukan kampung yang tua, yang kita butuhkan, bukan pula kampung yang eks kerajaan, penuh dengan kemistikan yang kita butuhkan, akan tetapi komitmen untuk mengembalikan sistem pemerintahan Marga di Lampung adalah hal yang sangat krusial untuk kita dengungkan bersama secara utuh dan menyeluruh jak ujung Danau Ranau teliyew mit Way Kanan sampai Pantai Laut Jawa, atau bahkan dari Ranau hingga ke Teladas, dari Palas Hingga ke Bengkunat, bersatu padu mendengungkan kembalinya sistem Pemerintahan Marga di Lampung melalui UUD 1945 Pasal 18B berikut penjelasannya yang tetap menuangkan adanya kata Marga. Dengan demikian, upaya mewujudkan otonomi masyarakat adat niscaya dan harus memasuki arena politik, yang berpusat pada perubahan kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat dan secara bersama-sama dilakukan penataan ulang hubungan antara pemerintah (melalui kebijakan) dan komunitas-komunitas adat, penguasaan atas wilayahnya, kelembagaan adatnya, dan hukum adat beserta perangkatnya (Noer Fauzi, Konsorsium untuk Pembangunan Agraria Bandung).


Secara historis, Lampung juga mengenal adanya konsep dewa trimurti, hanya saja konsep itu berbeda dalam penyebutannya. Adapun konsep trimurti masyarakat Lampung yaitu Dewa Pun (Dewa Brahma), Dewa Hung (Dewa Wisnu) dan Dewa Duguk (Dewa Siwa), oleh karena itu seorang pemimpin masyarakat  Lampung disebut Punyimbang. Punyimbang tentunya adalah sosok yang sangat dihormati dan disegani di kalangan komunitas masyarakat hukum adat secara geniologis, sebab, kata Punyimbang berasal dari dua suku kata, yaitu “Pun” dan “Nyimbang”, Pun berarti Dewa tertinggi dalam konsep trimurti (dewa Brahma) Lampung, sedangkan kata Nyimbang berarti meniru. Secara bahasa Punyimbang berarti meniru segala tingkah laku dewa (Achjarani Alf.). Bagaimana kelompok masyarakat hukum adat itu mau tunduk kepada Punyimbangnya, sedangkan punyimbangnya tidak dapat dijadikan panutan sebagai halnya Dewa Pun (Dewa Brahma). Untuk itu kembali kita pada pokok persolaan, dimanakah para Punyimbang Adat itu ketika sistem Pemerintahan Marga di Lampung hapus secara terselubung.


Adapun sistem pemerintahan adat Lampung telah terorganisir secara baik, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tiga (3) warna Payung Agung yaitu Putih melambangkan Pemerintahan Marga dengan nilai adatnya dua puluh empat (24), Payung Agung berwarna Kuning melambangkan Pemerintahan Tiyuh dengan nilai adatnya dua belas (12), sedangkan Payung Agung berwarna merah melambangkan adanya Pemerintahan Suku dengan nilai adatnya enam (6). Nilai adat secara hukum dapat diartikan bahwa masyarakat hukum adat Lampung tidak mengenal adanya persamaan dalam hukuman, sebab besar kemungkinan jika seorang Punyimbang Adat Lampung berpangkat Marga melakukan tindak pidana, maka hukumannya tentu lebih tinggi dari pada Punyimbang Tiyuh atau Suku. Setidaknya jika diterapkan dalam sistem hukum di negeri ini, berarti juga ketika seorang pejabat melakukan tindak pidana, maka hukumannya lebih berat daripada masyarakat biasa.


Untuk itu perlunya persatuan dan kesatuan komunitas masyarakat hukum adat guna menegakkan otonomi masyarakat hukum  adat, sehingga masyarakat hukum adat dapat terlibat secara langsung dalam menata kehidupan politik di negeri ini, terkhusus menata daerah dalam rangka mengisi pembangunan daerah yang sejalan dengan otonomi daerah, serta tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa melalui empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
Arkeolog Temukan Sumur Kerajaan Sriwijaya di Jambi
Jumat, 12 Juli 2013, 21:06 WIB
Komentar : 0
dok.arkeologi ui
Temuan sumur di Situs Kedaton, Cagar Budaya Muara Jambi, Sumatra Selatan.
Temuan sumur di Situs Kedaton, Cagar Budaya Muara Jambi, Sumatra Selatan.

A+ | Reset | A-


REPUBLIKA.CO.ID, JAMBI -- Arkeolog Indonesia kembali menemukan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya setelah melakukan ekskavasi di Muaro Jambi beberapa waktu lalu. Dalam laporan yang dipublikasikan Universitas Indonesia (UI), Jumat (12/7), salah satu temuan yang mencolok adalah sumur yang biasa digunakan masyarakat Sriwajaya di masa lalu.

Guru Besar Arkeologi UI, Agus Aris Munandar, mengatakan Kerajaan Sriwijaya diduga berada di kawasan Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Meski terkenal sebagai pusat berkembangnya Kerajaan Sriwijaya, Palembang ternyata tidak memiliki banyak bukti peninggalan.

Ini dibuktikan dari penggalian sisa-sisa peninggalan Kerajaan Sriwijaya serta petirtaan berupa sumur di Situs Kedaton, Kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi, oleh 43 mahasiswa dan lima dosen pembimbing. Mereka tergabung dalam kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Arkeologi Universitas Indonesia (UI) pada 16 – 28 Juni 2013.
Proses ekskavasi dilakukan di 14 kotak gali di Situs Kedaton, Kawasan Cagar Budaya Muara Jambi. Kawasan tersebut berada sekitar 20 kilometer dari Kota Jambi, atau 30 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten Muaro Jambi.
Pengajar arkeologi UI yang berada di lokasi, Cecep Eka Permana, mengatakan bahwa salah satu regu berhasil menemukan sumur yang terletak di arah timur laut, yang merupakan arah yang paling baik bagi agama Buddha. Menurut Cecep, sumur tersebut pada masanya digunakan sebagai sumber mata air.  Sumur yang ditemukan tersebut baru digali sedalam 1,5 meter. Di sekitar sumur tim juga menemukan sisa pecahan tembikar, keramik, dan stoneware (barang pecah belah lainnya).

Selain sumur, ditemukan pula struktur persegi di pinggir sumur yang diidentifikasi sebagai lantai di sekitar sumur. Selain itu, ada juga struktur lain yang berbentuk bangunan yang terlihat dari pola letak, halaman tengah, dan halaman luarnya. Pada struktur luar, ditemukan fragmen-fragmen yang berbentuk besar dan kasar.

Sementara itu, semakin ke dalam fragmen yang ditemukan semakin halus teksturnya. ”Dalam konteks keagamaan, biasanya makin ke (ruangan bagian) dalam akan makin suci,” ujar Cecep.

Sementara Agus menambahkan, sebenarnya masih banyak bagian kawasan cagar budaya tersebut yang belum dijamah, termasuk yang berada  di seberang Sungai Batanghari. Sedangkan Arca-arca lepas yang ditemukan di Palembang bertuliskan ancaman-ancaman, maka dapat diartikan bahwa Palembang merupakan kota yang telah ditaklukan oleh Sriwijaya.

Reporter : Stevy Maradona
Redaktur : Dewi Mardiani

Sindonews.com - Kerajaan Sriwijaya diduga berada di kawasan Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Meski terkenal sebagai pusat berkembangnya Kerajaan Sriwijaya, Palembang, ternyata tidak memiliki banyak bukti peninggalan.

Asumsi tersebut didasarkan atas penemuan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Sriwijaya serta petirtaan berupa sumur di Situs Kedaton, Kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi, oleh 43 mahasiswa dan 5 dosen pembimbing yang tergabung dalam kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Arkeologi Universitas Indonesia (UI) pada 16 – 28 Juni 2013.

Kegiatan utama KKL Arkeolog UI pekan lalu tersebut adalah eskavasi - sebuah metode arkeologi yang bertujuan menemukan kembali sisa-sisa kegiatan manusia masa lalu dengan cara melakukan penggalian.

Proses ekskavasi dilakukan di 14 kotak gali di Situs Kedaton, Kawasan Cagar Budaya Muara Jambi. Kawasan tersebut berada sekitar 20 kilometer dari Kota Jambi, atau 30 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten Muaro Jambi.

Dosen pembimbing KKL UI, Cecep Eka Permana, mengatakan bahwa salah satu regu berhasil menemukan sumur yang terletak di arah timur laut, yang merupakan arah yang paling baik bagi agama Budha. Menurut Cecep, sumur tersebut pada masanya digunakan sebagai sumber mata air.

"Sumur yang ditemukan tersebut baru digali sedalam 1,5 meter. Di sekitar sumur tim juga menemukan sisa pecahan tembikar, keramik, dan stoneware (barang pecah belah lainnya). Selain sumur, ditemukan pula struktur persegi di pinggir sumur yang diidentifikasi sebagai lantai di sekitar sumur," ungkapnya kepada wartawan, Jumat (12/07/2013).

Selain itu, kata Cecep, ada juga struktur lain yang berbentuk bangunan yang terlihat dari pola letak, halaman tengah, dan halaman luarnya. Pada struktur luar, ditemukan fragmen-fragmen yang berbentuk besar dan kasar.

Sementara itu, semakin ke dalam fragmen yang ditemukan semakin halus teksturnya. ”Dalam konteks keagamaan, biasanya makin ke (ruangan bagian) dalam akan makin suci,” ujar Cecep.

Sebenarnya masih banyak bagian kawasan cagar budaya tersebut yang belum dijamah, termasuk yang berada di seberang Sungai Batanghari. Sedangkan Arca-arca lepas yang ditemukan di Palembang bertuliskan ancaman-ancaman, maka dapat diartikan bahwa Palembang merupakan kota yang telah ditaklukan oleh Sriwijaya.

Kepala Kantor Komunikasi UI Farida Haryoko mengatakan Departemen Arkeologi UI bersama pemerintah setempat saat ini tengah bekerja sama menjadikan Kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi sebagai laboratorium penelitian, sehingga dapat dimanfaatkan untuk penelitian arkeologi baik oleh dosen maupun mahasiswa Arkeologi.

Kegiatan penelitian tersebut merupakan salah satu kegiatan perkuliahan wajib bagi para mahasiswa Arkeologi yang berada di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI.

"Indonesia sebagai negara yang sangat kaya akan peradaban dan sejarah membutuhkan banyak arkeolog. UI sebagai salah satu dari (hanya) empat perguruan tinggi yang memiliki program studi Arkeologi di Indonesia, diharapkan dapat memberikan kontribusi optimal dalam melakukan studi, penggalian, pengumpulan, pengkajian, serta segala menyampaikan fakta-fakta sejarah sampai ribuan tahun lalu kepada generasi penerus bangsa serta masyarakat di Indonesia maupun dunia," tandas Farida.














0 komentar:

Posting Komentar