Menggala:, Sejak digulirkannya era reformasi,
otonomi daerah dan supremasi hukum, telah membawa perubahan yang signifikan
terhadap sistem pengaturan komunitas masyarakat hukum adat melalui amandemen
UUD 1945 Pasal I8B. Sayang keadaan ini tidak membuat kehidupan masyarakat hukum
adat menjadi lebih baik, bahkan keadaannya semakin memperihatinkan. Masyarakat
hukum adat semakin tergerus oleh kepentingan segelitir elite politik demi
memenuhi sahwat politiknya untuk menggapai kekuasaan.
Keadaan itu semakin tidak menguntungkan
komunitas masyarakat hukum adat, sebab sebagai contoh pertikaian konflik
agraria antara pihak kapitalis (dalam hal ini merupakan pihak perusahaan
swasta) dengan pihak komunitas masyarakat hukum adat (sebagai pengakuan adanya
hak ulayat) tidak pernah mendapatkan respon yang positif dari pihak pemerintah
daerah, dalam rangka melindungi dan menegakkan otoritas masyarakat hukum adat,
yang ada hanyalah janji-janji yang penuh dengan kepalsuan. Demokrasi yang
didengungkan itu hanyalah ditujukan guna melindungi hak-hak kapitalis yang
telah menggerogoti dan mengorbankan hak-hak masyarakat hukum adat sebagai
masyarakat marginal dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejalan dengan hal tersebut diatas,
bertalian dengan adanya konflik kepentingan khususnya mengenai tampuk pimpinan
masyarakat hukum adat Megou Pak Tulang Bawang yang telah melahirkan empat (4)
pucuk pimpinan yang berbeda-beda secara geopolitik, adalah karena ketidak
pahaman beberapa unsur punyimbang adat dalam merespon gerak laju perubahan politik
dan hukum dinegeri ini, sebab sejak hapusnya pemerintahan Marga di Lampung 1952
(Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia : 127) tidak pernah ada gugatan secara
riil oleh para Punyimbang Adat Marga dalam menanggapi hapusnya pemerintahan
Marga di Lampung.
Bahkan pernah diwacanakan adanya
pemekaran Kabupaten nama Panaragan (sekarang wilayah eks Kabupaten Tulang
Bawang), yang digagas oleh Lembaga Masyarakat Adat Panaragan serta dituangkan
melalui Keputusan Lembaga Adat pada 20 Juli 2005, dengan maksud agar Kabupaten
tersebut dilahirkan atas dasar Pasal 18B UUD1945, sehingga Kabupaten tersebut
merupakan Kabupaten yang berADAT, akan tetapi kenyataannya adalah telah terjadi
penyimpangan serta pelecehan keputusan Lembaga Adat dimaksud oleh oknum-oknum
tertentu, yang diataranya mungkin saat ini telah menjabat sebagai pucuk
pimpinan Ketua Lembaga Adat Megou Pak Tulang Bawang. Untuk apa memegang
pimpinan adat jika tidak ada komitmen untuk mengangkat kembali citra masyarakat
hukum adat dalam kancah politik di negeri ini??
Otonomi yang didengungkan saat ini
hanyalah menguntungkan pihak-pihak birokrasi pemerintah daerah, pihak kapitalis
(Perusahaan Swasta), juga para elit politik yang memegang peran sebagai pembuka
keran otonomi daerah, sedangkan fungsi kelompok marginal cuma sekedar
menjadi kayu api bagi segelintir elite (R.Yando Zakaria, Praktisi Antropolog
pada Institut for Sosial Transpormation/Insist Yogyakarta), dalam rangka
menghidupkan bara api otonomi. Bukankah pemberian otonomi daerah tentunya
sejalan dengan pemuliaan identitas budaya di masing-masing daerah di Indonesia,
tapi kenyataannya adalah jauh panggang dari api.
Sebaiknya Partai Politik yang
mencalonkan seorang kepala daerah yang berasal dari unsur birokrasi pemerintah,
tidak mendapatkan tempat dalam kehidupan demokrasi, sebab secara rasional
Kepala Daerah adalah jabatan yang bersifat Politis, yang tentunya seorang
politisilah yang pantas untuk menduduki jabatan dimaksud, sebab jika seorang
birokrat menduduki jabatan yang bersifat politis, maka sudah barang tentu dia
tidak akan mengaspirasikan suara masyarakat sipil (masyarakat adat), melainkan
hanyalah kepentingan birokrasinya saja yang lebih diutamakannya. Coba dilihat
secara arif dan bijaksana sudah berapakah kader Partai Politik murni yang
menduduki jabatan kepala daerah se-Kabupaten di Lampung ini.
Untuk itu perlu kita sebagai sanak
Punyimbang kembali berinstropeksi diri serta sadar (NGEBERENGOH), bahwa dalam
era globalisasi saat ini penuh dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi,
sehingga kearifan budaya lokal khususnya budaya Lampung dapat terus berkembang
secara berkesinambungan dalam rangka menjawab tantangan zaman yang terus
berkembang secara berkelanjutan. Bukankah demokrasi merupakan syarat yang
diperlukan melindungi masyarakat adat (Sarwono Kusuma
Atmadja, Mantan Menteri Negara dan Pemberdayaan Aparatur Negara)..
Sebaiknya para Punyimbang adat Lampung
NGEBERENGOH, dan kembali pada tatanan musyawarah adat secara bulat dan utuh
guna mewujudkan konsensus politik adat, sehingga diharapkan kedepan masyarakat
hukum adat dapat berperan secara aktif dalam kancah politik di daerah. Bukan
punyimbang yang hebat yang kita perlukan, bukan pula punyimbang yang gagah yang
kita perlukan, bukan kampung yang tua, yang kita butuhkan, bukan pula kampung
yang eks kerajaan, penuh dengan kemistikan yang kita butuhkan, akan tetapi
komitmen untuk mengembalikan sistem pemerintahan Marga di Lampung adalah hal
yang sangat krusial untuk kita dengungkan bersama secara utuh dan menyeluruh
jak ujung Danau Ranau teliyew mit Way Kanan sampai Pantai Laut Jawa, atau
bahkan dari Ranau hingga ke Teladas, dari Palas Hingga ke Bengkunat, bersatu
padu mendengungkan kembalinya sistem Pemerintahan Marga di Lampung melalui UUD
1945 Pasal 18B berikut penjelasannya yang tetap menuangkan adanya kata Marga.
Dengan demikian, upaya mewujudkan otonomi masyarakat adat niscaya dan harus
memasuki arena politik, yang berpusat pada perubahan kebijakan pemerintah
daerah dan pemerintah pusat dan secara bersama-sama dilakukan penataan ulang
hubungan antara pemerintah (melalui kebijakan) dan komunitas-komunitas adat,
penguasaan atas wilayahnya, kelembagaan adatnya, dan hukum adat beserta
perangkatnya
(Noer Fauzi,
Konsorsium untuk Pembangunan Agraria Bandung).
Secara historis, Lampung juga mengenal
adanya konsep dewa trimurti, hanya saja konsep itu berbeda dalam penyebutannya.
Adapun konsep trimurti masyarakat Lampung yaitu Dewa Pun (Dewa Brahma), Dewa
Hung (Dewa Wisnu) dan Dewa Duguk (Dewa Siwa), oleh karena itu seorang pemimpin
masyarakat Lampung disebut Punyimbang.
Punyimbang tentunya adalah sosok yang sangat dihormati dan disegani di kalangan
komunitas masyarakat hukum adat secara geniologis, sebab, kata Punyimbang
berasal dari dua suku kata, yaitu “Pun” dan “Nyimbang”, Pun berarti Dewa
tertinggi dalam konsep trimurti (dewa Brahma) Lampung, sedangkan kata Nyimbang
berarti meniru. Secara bahasa Punyimbang berarti meniru segala tingkah laku
dewa (Achjarani Alf.). Bagaimana kelompok masyarakat hukum adat itu mau tunduk
kepada Punyimbangnya, sedangkan punyimbangnya tidak dapat dijadikan panutan
sebagai halnya Dewa Pun (Dewa Brahma). Untuk itu kembali kita pada pokok
persolaan, dimanakah para Punyimbang Adat itu ketika sistem Pemerintahan Marga
di Lampung hapus secara terselubung.
Adapun sistem pemerintahan adat Lampung
telah terorganisir secara baik, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tiga (3)
warna Payung Agung yaitu Putih melambangkan Pemerintahan Marga dengan nilai
adatnya dua puluh empat (24), Payung Agung berwarna Kuning melambangkan
Pemerintahan Tiyuh dengan nilai adatnya dua belas (12), sedangkan Payung Agung
berwarna merah melambangkan adanya Pemerintahan Suku dengan nilai adatnya enam
(6). Nilai adat secara hukum dapat diartikan bahwa masyarakat hukum adat
Lampung tidak mengenal adanya persamaan dalam hukuman, sebab besar kemungkinan
jika seorang Punyimbang Adat Lampung berpangkat Marga melakukan tindak pidana,
maka hukumannya tentu lebih tinggi dari pada Punyimbang Tiyuh atau Suku.
Setidaknya jika diterapkan dalam sistem hukum di negeri ini, berarti juga
ketika seorang pejabat melakukan tindak pidana, maka hukumannya lebih berat
daripada masyarakat biasa.
Untuk itu perlunya persatuan dan
kesatuan komunitas masyarakat hukum adat guna menegakkan otonomi masyarakat
hukum adat, sehingga masyarakat hukum
adat dapat terlibat secara langsung dalam menata kehidupan politik di negeri
ini, terkhusus menata daerah dalam rangka mengisi pembangunan daerah yang
sejalan dengan otonomi daerah, serta tetap menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa melalui empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka
Tunggal Ika dan NKRI.
Arkeolog Temukan
Sumur Kerajaan Sriwijaya di Jambi
Jumat, 12 Juli
2013, 21:06 WIB
Komentar : 0
dok.arkeologi ui
Temuan sumur di
Situs Kedaton, Cagar Budaya Muara Jambi, Sumatra Selatan.
Temuan sumur di
Situs Kedaton, Cagar Budaya Muara Jambi, Sumatra Selatan.
A+ | Reset | A-
REPUBLIKA.CO.ID,
JAMBI -- Arkeolog Indonesia kembali menemukan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya
setelah melakukan ekskavasi di Muaro Jambi beberapa waktu lalu. Dalam laporan
yang dipublikasikan Universitas Indonesia (UI), Jumat (12/7), salah satu temuan
yang mencolok adalah sumur yang biasa digunakan masyarakat Sriwajaya di masa
lalu.
Guru Besar
Arkeologi UI, Agus Aris Munandar, mengatakan Kerajaan Sriwijaya diduga berada
di kawasan Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Meski terkenal sebagai pusat
berkembangnya Kerajaan Sriwijaya, Palembang ternyata tidak memiliki banyak
bukti peninggalan.
Ini dibuktikan
dari penggalian sisa-sisa peninggalan Kerajaan Sriwijaya serta petirtaan berupa
sumur di Situs Kedaton, Kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi, oleh 43 mahasiswa dan
lima dosen pembimbing. Mereka tergabung dalam kegiatan Kuliah Kerja Lapangan
(KKL) Arkeologi Universitas Indonesia (UI) pada 16 – 28 Juni 2013.
Proses ekskavasi
dilakukan di 14 kotak gali di Situs Kedaton, Kawasan Cagar Budaya Muara Jambi.
Kawasan tersebut berada sekitar 20 kilometer dari Kota Jambi, atau 30 kilometer
dari Ibu Kota Kabupaten Muaro Jambi.
Pengajar
arkeologi UI yang berada di lokasi, Cecep Eka Permana, mengatakan bahwa salah
satu regu berhasil menemukan sumur yang terletak di arah timur laut, yang
merupakan arah yang paling baik bagi agama Buddha. Menurut Cecep, sumur
tersebut pada masanya digunakan sebagai sumber mata air. Sumur yang ditemukan tersebut baru digali
sedalam 1,5 meter. Di sekitar sumur tim juga menemukan sisa pecahan tembikar,
keramik, dan stoneware (barang pecah belah lainnya).
Selain sumur,
ditemukan pula struktur persegi di pinggir sumur yang diidentifikasi sebagai
lantai di sekitar sumur. Selain itu, ada juga struktur lain yang berbentuk bangunan
yang terlihat dari pola letak, halaman tengah, dan halaman luarnya. Pada
struktur luar, ditemukan fragmen-fragmen yang berbentuk besar dan kasar.
Sementara itu,
semakin ke dalam fragmen yang ditemukan semakin halus teksturnya. ”Dalam
konteks keagamaan, biasanya makin ke (ruangan bagian) dalam akan makin suci,”
ujar Cecep.
Sementara Agus
menambahkan, sebenarnya masih banyak bagian kawasan cagar budaya tersebut yang
belum dijamah, termasuk yang berada di
seberang Sungai Batanghari. Sedangkan Arca-arca lepas yang ditemukan di
Palembang bertuliskan ancaman-ancaman, maka dapat diartikan bahwa Palembang
merupakan kota yang telah ditaklukan oleh Sriwijaya.
Reporter : Stevy Maradona
Redaktur : Dewi Mardiani
Sindonews.com
- Kerajaan Sriwijaya diduga berada di kawasan Muaro Jambi, Provinsi Jambi.
Meski terkenal sebagai pusat berkembangnya Kerajaan Sriwijaya, Palembang,
ternyata tidak memiliki banyak bukti peninggalan.
Asumsi tersebut
didasarkan atas penemuan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Sriwijaya serta
petirtaan berupa sumur di Situs Kedaton, Kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi, oleh
43 mahasiswa dan 5 dosen pembimbing yang tergabung dalam kegiatan Kuliah Kerja
Lapangan (KKL) Arkeologi Universitas Indonesia (UI) pada 16 – 28 Juni 2013.
Kegiatan utama
KKL Arkeolog UI pekan lalu tersebut adalah eskavasi - sebuah metode arkeologi
yang bertujuan menemukan kembali sisa-sisa kegiatan manusia masa lalu dengan
cara melakukan penggalian.
Proses ekskavasi
dilakukan di 14 kotak gali di Situs Kedaton, Kawasan Cagar Budaya Muara Jambi.
Kawasan tersebut berada sekitar 20 kilometer dari Kota Jambi, atau 30 kilometer
dari Ibu Kota Kabupaten Muaro Jambi.
Dosen pembimbing
KKL UI, Cecep Eka Permana, mengatakan bahwa salah satu regu berhasil menemukan
sumur yang terletak di arah timur laut, yang merupakan arah yang paling baik
bagi agama Budha. Menurut Cecep, sumur tersebut pada masanya digunakan sebagai
sumber mata air.
"Sumur yang
ditemukan tersebut baru digali sedalam 1,5 meter. Di sekitar sumur tim juga
menemukan sisa pecahan tembikar, keramik, dan stoneware (barang pecah belah
lainnya). Selain sumur, ditemukan pula struktur persegi di pinggir sumur yang
diidentifikasi sebagai lantai di sekitar sumur," ungkapnya kepada
wartawan, Jumat (12/07/2013).
Selain itu, kata
Cecep, ada juga struktur lain yang berbentuk bangunan yang terlihat dari pola
letak, halaman tengah, dan halaman luarnya. Pada struktur luar, ditemukan
fragmen-fragmen yang berbentuk besar dan kasar.
Sementara itu,
semakin ke dalam fragmen yang ditemukan semakin halus teksturnya. ”Dalam
konteks keagamaan, biasanya makin ke (ruangan bagian) dalam akan makin suci,”
ujar Cecep.
Sebenarnya masih
banyak bagian kawasan cagar budaya tersebut yang belum dijamah, termasuk yang
berada di seberang Sungai Batanghari. Sedangkan Arca-arca lepas yang ditemukan
di Palembang bertuliskan ancaman-ancaman, maka dapat diartikan bahwa Palembang
merupakan kota yang telah ditaklukan oleh Sriwijaya.
Kepala Kantor
Komunikasi UI Farida Haryoko mengatakan Departemen Arkeologi UI bersama
pemerintah setempat saat ini tengah bekerja sama menjadikan Kawasan Cagar
Budaya Muaro Jambi sebagai laboratorium penelitian, sehingga dapat dimanfaatkan
untuk penelitian arkeologi baik oleh dosen maupun mahasiswa Arkeologi.
Kegiatan
penelitian tersebut merupakan salah satu kegiatan perkuliahan wajib bagi para
mahasiswa Arkeologi yang berada di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI.
"Indonesia
sebagai negara yang sangat kaya akan peradaban dan sejarah membutuhkan banyak
arkeolog. UI sebagai salah satu dari (hanya) empat perguruan tinggi yang
memiliki program studi Arkeologi di Indonesia, diharapkan dapat memberikan
kontribusi optimal dalam melakukan studi, penggalian, pengumpulan, pengkajian,
serta segala menyampaikan fakta-fakta sejarah sampai ribuan tahun lalu kepada
generasi penerus bangsa serta masyarakat di Indonesia maupun dunia,"
tandas Farida.
0 komentar:
Posting Komentar