LEMBARAN MASA LALU
Menggala merupakan satu-satunya kota
yang berada di tepian Way Tulang Bawang, Lampung. Di daerah Menggala,
Way Tulang Bawang mengalir dari arah barat kemudian berbelok ke selatan
selanjutnya ke timur terus ke utara. Pemukiman berada di tepi sungai
sebelah selatan dan timur. Secara geografis berada pada posisi 4°27’ -
4°29’ LS dan 105°13’ - 105°16’ BT (berdasarkan peta topografi daerah
Menggala lembar 29). Berdasarkan UU No. 2 Th. 1997 tentang Pembentukan
Kabupaten Dati II Tulang Bawang dan Tanggamus, secara resmi Menggala
dinyatakan sebagai ibukota Kabupaten Tulang Bawang (Troe, 1997: 16-17). Cukup beralasan menjadikan Menggala sebagai ibukota Kabupaten Tulang Bawang. Dari segi fisik kota ini sudah dilengkapi berbagai sarana kebutuhan masyarakat kota. Dari sisi historis peranan kota ini dalam berbagai jaringan hubungan baik regional maupun nasional sudah berlangsung sejak zaman Sriwijaya hingga Banten.
Kapan
Menggala terbentuk memang susah ditelusurinya. Hal ini karena sumber
sejarah secara tertulis belum ditemukan. Berdasarkan sejarah lisan,
masyarakat yang menempati kota
Menggala pada awalnya adalah keturunan Minak Sengecang yang semula
bermukim di Lengak, Bujung Menggala, Kampung Gunung Katon, Kecamatan
Tulang Bawang Udik. Masyarakat Lengak kemudian pindah ke hilir di Rantau
Tejang – Menggala sekarang. Di sini nama kampungnya mengalami perubahan
bunyi menjadi Lingai. Perkembangan selanjutnya di sekitar Lingai
terbentuk kampung Kibang, dan Lebuh Dalem. Tiga kampung inilah yang menurut salah satu versi sejarah lisan dipercaya sebagai kampung-kampung tua di Menggala.
Perkembangan
pemukiman di Rantau Tejang berlangsung terus. Pendatang dari berbagai
daerah ada yang menetap dan mendirikan perkampungan baru. Di Kampung
Ujunggunung Ilir – terletak di sebelah selatan Menggala dengan jarak
lurus sekitar 8,5 km – terdapat situs pemukiman umbul Lekau yang termasuk di dalam wilayah tiuh Toho
(Kampung Tua). Di situs ini terdapat makam Minak Ngegulung. Pada jaman
Belanda, masyarakat kampung pindah ke Menggala dan menetap di Kampung
Ujunggunung Udik. Masyarakat yang datang dan menetap di Menggala tidak
hanya dari sekitar Menggala. Di sini terdapat koloni masyarakat Bugis
dan Palembang yang juga mendirikan perkampungan. Di Ujunggunung Udik
terdapat makam Minak Sengaji. Menurut keterangan Bp. H. Ahmad Muzani
(70-an tahun) yang merupakan keturunan ke-27, Minak Sengaji adalah
pendiri kota Menggala. Prof. H. Hilman Hadikusuma (1989: 47) mensinyalir bahwa Minak Sengaji merupakan pembawa Islam di Menggala.
Catatan
sejarah dari berbagai sumber ada yang menyebut tentang Tulang Bawang.
Catatan ini tentunya berkaitan erat dengan Menggala. Catatan Tomé Pires (1512 – 1515), menyebutkan bahwa di Jawa Barat pernah berdiri suatu kerajaan yang disebut regño de Çumda
atau kerajaan Sunda. Kerajaan ini mempunyai beberapa pelabuhan dagang
di sepanjang pantai utara. Hubungan dagang kerajaan Sunda tidak hanya
bersifat lokal tetapi sampai tingkat regional bahkan internasional.
Beberapa barang dagangan dari Tulang Bawang seperti lada masuk ke Jawa
melalui pelabuhan Cheguide (Cortesão, 1967: 171). Dalam catatan
ini jelas-jelas tersurat bahwa antara Sunda dan Tulang Bawang pernah
menjalin hubungan dagang terutama lada. Pada suatu masa Kerajaan Sunda
mengalami kemunduran. Kedudukan dan peranan Kerajaan Sunda kemudian
digantikan Banten.
Ketika
Banten diperintah oleh Sultan Hasanuddin, wilayah kekuasaannya hingga
Lampung dan daerah Sumatera Selatan. Wilayah kekuasaan Banten di
Sumatera ini banyak menghasilkan lada (merica) yang sangat berperan
dalam perdagangan di Banten, sehingga membuat Banten menjadi kota pelabuhan penting yang disinggahi kapal-kapal dagang dari Cina, India,
bahkan Eropa. Keadaan seperti ini berlangsung dari pertengahan abad
ke-16 hingga akhir abad ke-18 (Graaf dan Pigeaud, 1985: 151-156). Pada
sekitar abad tersebut kekuatan politik Banten memacu perdagangan lada,
cengkeh, serta kemudian kopi di kawasan Lampung (Wolters, 1967).
Sajarah Banten
menyebutkan bahwa Sultan Hasanuddin pernah mengadakan perjalanan ke
Lampung, Indrapura, Solebar, dan Bengkulu. Mengenai hubungan Banten
dengan Lampung juga diceritakan oleh tradisi Orang Abung. Menak Paduka
dan Menak Kemala Bumi pernah datang di Banten untuk mempersembahkan
pengakuan kekuasaan tertinggi atas Tulang Bawang kepada Banten. Oleh
Sultan Hasanuddin, Menak Paduka kemudian diberi gelar Patih Jarumbang
dan Menak Kemala Bumi diberi gelar Patih Prajurit. Kedua tokoh ini
kemudian masuk Islam dan selanjutnya melaksanakan islamisasi di daerah
Lampung (Djajadiningrat, 1983).
Penguasaan
Tulang Bawang atas Banten berhubungan erat dengan politik ekonomi
Banten terhadap Lampung khususnya menyangkut lada. Pada waktu itu lada
merupakan komoditas ekspor terpenting. Banten sangat berkepentingan
terhadap lada sehingga untuk urusan hukum adat dan kemasyarakatan,
Tulang Bawang diberi hak otonomi sedangkan untuk lada sepenuhnya urusan
Banten (Nurhakim dan Fadillah, 1990: 258 – 274). Peran besar Lampung
dalam menyediakan lada untuk Banten didukung oleh faktor lingkungan.
Tanah di daerah Lampung banyak mengandung lempung dengan sendirinya
merupakan media yang sangat cocok bagi tanaman lada (Triwuryani, 1994:
4).
Pada
masa Sultan Hasanuddin kegiatan perdagangan lada dilakukan di bandar
kecil yang disebut Tangga Raja. Bandar kecil ini milik tiap-tiap
pemerintahan adat yang terdapat pada setiap kampung. Dengan demikian
setiap pemerintah marga menjalin hubungan dagang secara langsung dengan
Banten. Keadaan seperti itu berubah semenjak VOC menancapkan kekuasaan
di Tulang Bawang. Pada tahun 1668 VOC mendirikan benteng Petrus Albertus
(Fort Albertus) di Menggala tepatnya di Kampung Kibang
(Warganegara, 1994: 13). Pelacakan di lapangan sudah tidak dapat lagi
menemukan bekas-bekasnya. Menurut catatan Ronkel, maksud VOC mendirikan
benteng ini untuk mencegah serangan Bugis dan Palembang. Namun dalam
perkembangannya untuk kepentingan monopoli perdagangan. Tujuan utama VOC
tersebut semakin terlihat ketika pada tahun 1684 didirikan loji dan
bandar di Menggala (Yudha, 1996: 4). Usaha VOC berhasil, Sultan Haji
akhirnya memberi monopoli perdagangan lada dari para penyimbang di
daerah Lampung. Sejak itu Menggala tumbuh menjadi kota dagang yang
sangat ramai. Perdagangan ini tidak hanya dilakukan oleh Abung dan
Tulang Bawang tetapi juga dari Ranau dan Sekala Brak semuanya mengadakan
perdagangan di Menggala (Hadikusuma, 1989: 52). Bangkrutnya VOC pada
tahun 1799 tidak menjadikan Menggala surut. Pemerintah Belanda tetap
menganggap Menggala sebagai kota penting.
Berdirinya
maskapai pelayaran Belanda, merupakan angin segar bagi Menggala. Kota
ini menjadi bandar penting yang menghubungkan Lampung dengan Jawa dan
Singapura. Barang komoditas yang semula hanya lada berkembang ke karet,
kopi, serta hasil hutan seperti damar dan rotan. Pada tahun 1857 kota
Menggala dijadikan ibukota Lampung bagian tengah yang dikepalai oleh
Asisten Residen. Tahun 1873 kedudukan ini sedikit menurun karena setelah
Lampung dibagi dalam enam Onder Afdeeling (Kawedanaan), Menggala
menjadi salah satu diantaranya. Kedudukan Asisten Residen dipindahkan
ke Teluk Betung. Surutnya Menggala dipicu oleh perkembangan teknologi
transportasi berupa kereta api. Pada sekitar tahun 1920 telah dibuka
jalur kereta api antara Tanjung Karang – Palembang. Keadaan ini
menjadikan urat nadi transportasi pindah dari transportasi sungai ke
transportasi darat. Akibatnya Menggala menjadi kota yang terpencil dan
akhirnya mengalami stagnasi (Yudha, 1996: 4 – 5). Sejalan dengan
penetrasi Belanda ini, kebudayaan masyarakat setempat terpengaruh juga,
sehingga pengkayaan budaya terjadi. Di sini tampak terdapat dampak
positif dari pengaruh asing di Menggala. Secara fisik warisan budaya
masa lalu yang tercermin dalam kota tua Menggala masih dapat terlihat
sisa-sisanya.
MELONGOK SISA KEJAYAAN
Kondisi kota
Menggala sekarang merupakan pemukiman yang cukup ramai karena secara
administratif selain sebagai ibukota kecamatan juga sebagai ibukota
kabupaten. Prasarana transportasi berupa jalan darat yang dikenal dengan
trans Sumatera lintas timur, menghubungkan Menggala dengan Palembang
dan Bandar Lampung. Di samping itu Way Tulang Bawang juga masih
difungsikan sebagai prasarana transportasi khususnya dari daerah
pedalaman dan wilayah pesisir.
Secara
fisik Menggala menunjukkan suatu pemukiman yang sudah tertata dengan
rapi. Pemukiman berada pada sisi selatan Way Tulang Bawang. Jalan-jalan
utama dibuat sejajar dengan aliran Way Tulang Bawang. Antara jalan utama
satu dengan lainnya dihubungkan oleh beberapa ruas jalan, sehingga
membentuk suatu jaringan yang saling berpotongan secara tegak lurus.
Gedung-gedung instansi dan sarana umum sudah lengkap.
Kantor Polisi dan Tangga Raja
Pada bagian selatan kota
terdapat bekas bangunan kantor polisi. Komplek kantor berada pada lahan
seluas sekitar 2 ha terletak di sebelah timur jalan raya yang secara
administratif termasuk dalam wilayah Kampung Ujung Gunung Ilir. Komplek
bangunan terdiri dari asrama, ruang tahanan, gudang amunisi, masjid, dan
perkantoran. Di sebelah timur laut bekas kantor polisi berjarak sekitar
3 km terdapat beberapa bangunan bekas kantor. Lokasi ini dekat dengan
kelokan Way Tulang Bawang yang secara administratif termasuk di dalam
wilayah Kampung Ujung Gunung Udik. Pada kelokan sungai ini, di sisi
selatan, terdapat bekas bandar (pelabuhan) yang dahulu merupakan milik
adat. Bandar demikian ini disebut dengan istilah “tangga raja”. Bangunan
berupa jalan berteras (tangga) terbuat dari bata dan plesteran.
Bangunan yang tersisa terdiri dari 10 teras dengan lebar sekitar 1,5 m
panjang sekitar 7 m. Tangga menghubungkan jalan dengan sungai tempat
kapal/perahu berlabuh.
Kantor Pos
Di
sebelah barat tangga raja berjarak sekitar 300 m terdapat beberapa
bangunan bekas kantor. Kantor Pos berada di sebelah selatan jalan.
Bangunan kantor pos dibangun tahun 1875. Bangunan ini di samping
berfungsi sebagai kantor, juga merupakan bangunan tempat tinggal yang
terdiri tiga unsur yaitu bangunan induk, rumah tinggal, dan dapur.
Bangunan
induk berfungsi sebagai kantor memiliki denah empat persegi panjang
dengan ukuran 16,50 m x 12,80 m. Bangunan induk difungsikan untuk
pelayanan surat menyurat. Di dalam ruang ini terdapat kamar brankas yang
dulunya merupakan tempat penyimpanan surat-surat maupun arsip Belanda.
Kamar brankas tersebut memiliki pintu yang terbuat dari besi dengan
gambar singa di bagian atasnya yang bertuliskan Martens Doetinchem Nederland, sebuah
lambang atau stempel Belanda. Di sebelah kanan atau timur kamar brankas
tersebut terdapat kamar yang berukuran 4,80 m x 4,60 m . Ukuran pintu
masing-masing kamar 2,38 m x 1,20 m dan ukuran jendela 1,98 m x 1,59 m.
Dahulu kamar tersebut digunakan sebagai tempat tinggal pegawai kantor
pos dan sekarang digunakan untuk menyimpan barang. Batas antara ruang
sisi sebelah kanan yang terdiri dari ruang pelayanan surat dan ruang
brankas dengan sisi sebelah kiri yang terdiri dari kamar-kamar terdapat
lorong yang tertutup sebagai jalan menuju ruang belakang atau ruang
tempat tinggal. Di bagian ruang depan terdapat pagar yang terbuat dari
besi, mirip dengan molding. Di atas jendela samping kiri dan kanan bangunan ini terdapat teritisan yang terbuat dari besi dengan penutup seng. Besi tersebut berbentuk lengkung-lengkung.
Bangunan
rumah tinggal terdapat di sebelah selatan atau belakang bangunan induk.
Bagian ini terdiri dari kamar-kamar. Antara bangunan induk dan bangunan
rumah tinggal dihubungkan dengan selasar terbuka (doorloop)
sepanjang ± 16 m dan lebar 2,40 m. Di sebelah barat bangunan induk
terdapat dapur. Antara bangunan induk dengan dapur juga dihubungkan
selasar terbuka. Selasar ini sepanjang 13,60 m dan lebar 2,40 m.
Gedung Perwatin
Di
depan Kantor Pos terdapat bekas gedung Perwatin, yaitu tempat para
tokoh adat bermusyawarah membicarakan persoalan adat. Gedung ini pernah
berfungsi sebagai Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Kabupaten Tulang Bawang. Gedung Perwatin berdenah empat persegi panjang
berukuran 29,60 m x 21 m. Bangunan tersebut menghadap ke arah barat.
Bentuk bangunan berupa shaped-U. Secara keseluruhan bangunan
terdiri dari lantai, dinding, dan atap. Lantai dan dinding bangunan
terbuat dari bahan kayu sedangkan bagian atap ditutup dengan genteng
yang didatangkan dari Palembang sehingga penduduk setempat menyebutnya
genteng Palembang.
Bangunan
gedung Perwatin terdiri dari bagian serambi, ruang sidang dan
kamar-kamar berjumlah delapan buah, empat buah disisi kanan dan empat
buah disisi kiri. Dari empat kamar sisi kanan terbagi menjadi dua kamar
berada di sisi kanan ruang sidang dan dua kamar berada disisi kiri.
Masing-masing kamar yang berada di sisi kiri dan kanan ruang sidang
memiliki ukuran yang sama yaitu, 4,70 m x 4,30 m. Begitu pula empat
kamar yang terletak di luar ruang sidang, dua kamar terletak menjorok
kedepan pada sisi kanan dan dua kamar pada sisi kiri berukuran 6 m x
4,30 m. Keempat buah kamar tersebut berhubungan langsung dengan serambi
depan. Bentuk serambi mengikuti bentuk bangunan . Bagian depan
dari serambi merupakan taman. Di serambi tersebut terdapat tiang-tiang
kayu sebagai penyokong konstruksi bangunan atap. Antara bagian serambi
dan ruang sidang dibatasi dengan dinding kayu. Untuk memasuki ruang
sidang digunakan dua pintu yang terletak di kiri dan kanan dinding kayu
pembatas. Pintu-pintu tersebut berukuran tinggi 3,22 m dan lebar 1,23 m.
Ruang
sidang merupakan ruang terbuka berukuran 21 m x 9,4 m. Ruang sidang ini
dibatasi oleh pagar kayu setinggi 1 m bermotif belah ketupat. Di atas
pagar pada bangunan atap terdapat hiasan garis diagonal dengan roset di
tengahnya. Sedangkan di atas dinding pembatas antara ruang sidang dan
serambi depan terdapat ventilasi udara yang berupa bingkai segiempat
bermotif garis-garis yang memotong sisi-sisinya serta garis diagonal
yang saling berpotongan. Pada dinding kayu tersebut terdapat jendela
kaca berukuran 2,42 m x 1,23 m.
Saat
ini kamar-kamar tersebut digunakan sebagai tempat urusan administrasi.
Untuk memasuki kamar-kamar tersebut melalui pintu pada masing-masing
kamar. Ukuran pintu tinggi 3,22m x 1,23 m. Di samping itu, di dalam
kamar terdapat jendela dan pintu yang tidak memiliki hiasan. Pintu
tersebut berfungsi sebagai penghubung antar kamar satu dengan yang
lainnya. Ukuran pintu tinggi 1,80 m x 90 m, dan jendela tinggi 1,98 m x
1,59 m.
Tiang-tiang
yang menopang bangunan balai adat di ruang sidang terbuat dari bahan
kayu dengan bentuk dan ukuran yang hampir sama. Fungsi tiang-tiang
tersebut merupakan penopang konstruksi bangunan atap. Balai adat pada
awalnya digunakan untuk sidang pengadilan adat maupun agama yang
digunakan oleh Marga Buay Bulan Hilir.
Bangunan Bekas Kantor Onder Afdeeling
Di sebelah barat bekas kantor Perwatin terdapat bekas bangunan tempat tinggal kontrolir yang juga sebagai Kantor Kawedanaan (Onder Afdeeling)
Menggala. Bangunan yang ada sudah mengalami pemugaran total sekarang
dipakai untuk Kantor Kecamatan Menggala. Di depan kantor kecamatan ini
jalan berbelok menjadi membujur arah utara selatan. Pada ujung utara
jalan sebelah barat terdapat bangunan bekas kantor pekerjaan umum.
Bangunan yang ada terbuat dari papan berdiri di atas tiang (rumah
panggung). Atap berbentuk limasan dengan bahan genting.
Rumah Sakit dan Sekolah
Di
depan bangunan bekas kantor pekerjaan umum terdapat bangunan bekas
rumah sakit. Bangunan yang tersisa tinggal bagian sudut yang sekarang
dimanfaatkan untuk rumah tinggal. Bangunan yang tersisa berdinding
papan, dengan atap berbentuk limasan dari bahan genting. Di sebelah
selatan bekas rumah sakit terdapat lembaga pemasyarakatan yang hingga
sekarang masih berfungsi sama. Di sebelah tenggara komplek perkantoran
pada jarak sekitar 300 m terdapat bangunan SD Ujunggunung Ilir I. Dahulu
sekolah ini merupakan sekolah desa yang hanya sampai kelas 3.
Masjid Agung, Pasar, dan Bandar
Di
sebelah timur sedikit ke arah utara komplek perkantoran berjarak
sekitar 2 km terdapat masjid agung. Masjid berada di sebelah barat laut
jalan desa yang secara administratif berada di wilayah Kampung Kibang.
Masjid didirikan pada tahun 1830. Pada tahun 1913 ditambah bangunan
menara yang terdapat di sebelah barat daya bangunan utama. Tahun 1938
masjid dipugar, selanjutnya pada tahun 1985 bagian atap masjid juga
mengalami pemugaran. Bagian atap yang tampak sekarang berupa atap
bersusun dua yang pada puncaknya berbentuk kubah bawang. Pada bagian
serambi terdapat tiang bergaya tuscan. Pada halaman samping selatan dan utara masih dijumpai adanya ubin terakota.
Di
sebelah utara masjid Agung berjarak sekitar 1 km terdapat sederetan
rumah tinggal yang juga difungsikan sebagai toko. Kawasan ini dahulu
merupakan satu-satunya pasar di daerah Menggala. Daerah ini termasuk di
dalam wilayah Kampung Palembang. Bentuk rumah kebanyakan terdiri dari
dua lantai, lantai atas untuk tempat tinggal sedangkan lantai bawah
untuk toko. Salah satu bangunan yang ada dibangun pada tahun 1819.
Di
sebelah utara pasar berjarak sekitar 500 m, di Kampung Bugis terdapat
pelabuhan dagang. Bangunan dermaga sebagai tempat berlabuhnya kapal
berupa semacam dermaga ponton dengan konstruksi besi. Sampai sekarang
pelabuhan ini pada waktu-waktu tertentu masih berfungsi.
Di
sebelah tenggara pasar berjarak sekitar 500 m, di Kampung Menggala
terdapat gedung SD I Menggala yang dahulu merupakan sekolah hingga kelas
7. Keadaan bangunan sudah mengalami pemugaran. Menurut keterangan
beberapa masyarakat setempat, bentuk dan konstruksi bangunan masih tetap
dipertahankan.
Rumah Tinggal
Rumah
tinggal penduduk yang masih mencirikan bangunan lama terkonsentrasi di
sekitar kawasan perkantoran dan Masjid Agung. Bentuk bangunan berupa
rumah di atas tiang kolong (panggung) dari bahan kayu. Pada beberapa
bagian, misalnya di atas pintu atau jendela, dihias dengan ukiran pola
sulur-suluran, geometris, atau kaligrafi. Rumah tinggal bangsawan
relatif lebih luas. Pada bagian depan pada umumnya terdapat ruangan
lebar tanpa dinding depan (semacam beranda). Tangga untuk memasuki rumah
berada pada bagian samping sisi depan.
Salah satu rumah tinggal yang masih belum banyak direnovasi adalah rumah milik keluarga Bapak
Pagar Alam. Bangunan rumah menghadap ke selatan atau jalan raya. Denah
empat persegi panjang berukuran 22 m x 14,50 m, berdiri pada tiang
penyangga (panggung). Tinggi dari tanah hingga lantai sekitar 1,5 m.
Untuk mencapai ruang teras atau serambi harus melewati tangga yang
terletak di teras I. Tangga tersebut berada di sisi kiri dan kanan dari
teras I. Pada teras I dikelilingi oleh pagar dengan motif garis yang
saling berpotongan setinggi 1 meter. Di belakang teras I terdapat teras
ke II dengan ukuran panjang 14,35 m x 14 m. Menurut informasi
pemiliknya, Ibu Pagar Alam, teras ke II ini berfungsi sebagai tempat
pertemuan adat atau pepung adat yang digunakan untuk laki-laki.
Bagian belakang dari ruang teras II adalah ruang dalam yang berfungsi
sebagai ruang tamu. Dalam pertemuan adat, ruang tersebut digunakan untuk
tamu perempuan. Untuk memasuki ruang tamu tersebut dapat melalui salah
satu dari empat pintu. Pintu tersebut memiliki dua daun pintu dengan
ukuran tinggi 2,40 m x 1,43 m. Pada bagian tengah di antara dua pintu
atau di tengah dinding terdapat hiasan dalam bingkai bermotif
sulur-suluran. Hiasan tersebut dibuat oleh pengrajin yang didatangkan
dari Jepara.
Bagian
ruang dalam setelah ruang tamu adalah ruang yang digunakan untuk kamar
tidur. Untuk memasuki ruang dalam harus melewati salah satu dari dua
pintu dengan ukuran tinggi 2,40 m x 1,43 m. Pintu tersebut memiliki dua
daun pintu yang terbuat dari kayu dan kaca berukuran 2,40 m x 1,50 m.
Kaca tersebut berwarna merah, biru, dan bening serta berisi motif
kembang. Jumlah keseluruhan kamar empat buah, dua buah terletak di sisi
kiri dan dua buah terletak di sisi kanan. Menurut Ibu Pagar Alam, kamar
tersebut ditempati berdasarkan urutan anak yang tertua, misalnya, pada
kamar sisi kanan urutan dari depan ditempati anak yang pertama sedang
yang kedua ditempati anak yang kedua. Demikian juga pada kamar di sisi
kiri ditempati anak yang ketiga, kamar berikutnya ditempati anak yang
keempat. Bagian belakang dari kamar ini terdapat ruang dapur berukuran
3,90 m x 3,56 m.
MENATAP MASA DEPAN
Menggala
secara teoritis pada mulanya dapat dikelompokkan ke dalam kota yang
terbentuk secara spontan. Kota semacam ini biasanya tumbuh dalam jangka
waktu lama. Pertumbuhan kota tersebut didukung oleh banyak faktor antara
lain geografi, ekonomi, sosial, dan politik (Hourani, 1970: 9-10). Pada
masa yang lebih kemudian, terutama pada masa-masa di mana budaya Barat
masuk dibawa oleh VOC kota Menggala berkembang sebagai kota yang
direncanakan. Prasarana transportasi dan berbagai fasilitas umum
dibangun mengikuti kebutuhan, walaupun dalam hal ini ada kecenderungan
mengikuti kebutuhan penguasa.
Morfologi
kota Menggala berbentuk pita. Peranan jalur transportasi darat berupa
jalan raya yang memanjang sejajar dengan aliran sungai, sangat dominan
dalam mempengaruhi perkembangan kota. Keadaan demikian juga dipengaruhi
oleh keadaan lahan ketika itu yang tidak memungkinkan untuk perluasan
areal ke samping. Dengan demikian space untuk perkembangan areal
kekotaannya hanya mungkin memanjang saja (Yunus, 2000: 118). Dalam
kebangkitannya dewasa ini, perkembangan kota Menggala mengalami
pergeseran ke arah selatan dengan tidak mengubah morfologi kota lama.
Beberapa
bangunan lama sebagian besar masih kokoh berdiri menyiratkan kejayaan
masa lalu. Menggala masih memperlihatkan bekas kota dagang yang
signifikan pada jamannya. Dalam sejarahnya berkembang dan matinya kota
Menggala berkaitan erat dengan prasarana transportasi. Bangkitnya
kembali kota Menggala juga karena telah dibukanya jalur transportasi
lintas timur trans Sumatera. Menggala sekarang ini berada pada masa
dominasi mobil antarkota. Kota yang demikian ini ditandai dengan
perkembangan penggunaan mobil maju dengan pesatnya. Akibatnya perluasan
jaringan transportasi darat makin dirasakan pada daerah-daerah yang
semula belum terjangkau alat-alat angkut. Morfologi kota akan berubah
seperti binatang gurita (Yunus, 2000: 155).
Kecenderungan
perkembangan semacam ini juga tampak pada kota Menggala. Jalur
transportasi tidak hanya memanjang seperti pita tetapi sudah ke berbagai
arah. Kota-kota satelit yang semula merupakan pemukiman transmigran di
sekitar Menggala, kini berkembang menuju kota moderen. Kecenderungan
perkembangan semacam ini perlu ditanggapi secara arif oleh penentu
kebijakan.
Kota
lama Menggala tetap merupakan kawasan penting dalam rangka perkembangan
kota. Bangunan lama yang masih tersisa, secara moral memberikan
dorongan bagi kemajuan kota selanjutnya. Korban-korban pembantaian
bangunan lama bersejarah di berbagai tempat sudah terlalu banyak. Kalau
kecenderungan tersebut dibiarkan, maka akan lenyap ciri-ciri khas dan
jatidiri masing-masing kota yang tercermin dari keberadaan warisan
arsitektur peninggalan masa lampau. Kota yang tidak lagi memiliki
lingkungan lama yang bernilai sejarah pada hakikatnya serupa dengan kota
yang tidak punya bayangan, dalam arti kota yang tidak memiliki
orientasi (Budihardjo, 1993: 33). Untuk menghindari hal semacam itu
kawasan kota lama Menggala mutlak dipikirkan secara arif untuk
kepentingan mendatang.
Oleh Nanang Saptono
KEPUSTAKAAN
Budihardjo, Eko dan Sudanti Hardjohubojo. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Bandung: Alumni.
Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Penerbit Djambatan, KITLV.
Graaf, H.J. de dan Pigeaud, Th. G. Th. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Grafitipers.
Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan adat-Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.
Hourani, A.H. 1970. “The Islamic City in the Light of Recent Research”. Dalam Hourani, A.H. dan Stern, S.M. (ed.) The Islamic City a Colloquium. Oxford: Bruno Cassirer and University of Pennsylfania Press. Hlm. 9 – 24.
Nurhakim, Lukman dan Moh. Ali Fadillah. 1990. “Lada: Politik Ekonomi Banten di Lampung”. Dalam Analisis Hasil Penelitian Arkeologi III: Agrikultur Berdasarkan Data Arkeologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 258 – 274.
Triwuryani, Rr. 1994. “Kajian Budidaya
Lada di Jawa dan Sumatera Abad 16 – 17: Suatu Penerapan Model
Arkeo-Ekologi”. Makalah dalam Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Palembang 11 – 16 Oktober 1994. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (belum diterbitkan).
Troe, Adnand (et all.). 1997. Menyelami Tulang Bawang. Menggala: Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang dan Tulang Bawang Enterprise.
Warganegara, Marwansyah. 1994. Riwayat Orang Lampung. (naskah belum diterbitkan).
Wolters, O.W. 1967. Early Indonesian Commerce. New York, Ithaca: Cornell University Press.
Yudha, Ahmad Kesuma. 1996. “Perspektif
Sosiologis Dalam Pembangunan Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II
Tulang Bawang”. Makalah pada Seminar Pembangunan Masyarakat Tulang Bawang.
Bandar Lampung, 29 – 30 Maret 1996. Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulang Bawang (belum
diterbitkan).
Yunus, Hadi Sabari. 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Minak Sengaji mungkin hanya mengukuhkan sebutan kampung-kampung di Rantau Tejang menjadi Menggala.